Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/1 |
|
Doa 40 Hari 2018 edisi 1 (5-5-2018)
|
|
40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- SABTU, 5 MEI 2018 FIRMAN ALLAH DI TANGAN MANUSIA Sudah bertahun-tahun yang lampau ketika nenek saya memperkenalkan saya kepada permainan-permainan yang dia lakukan saat masih kanak-kanak pada tahun 1880-an. Salah satu permainan yang dia sebutkan adalah permainan yang dimainkan olehnya dan teman-teman perempuan Metodisnya, bersama-sama dengan teman-teman Katolik Roma mereka. Dalam senda gurau ceria tentang kata-kata yang digunakan dalam Misa, nenek saya akan berkata, ?Tommy dan Johny turun ke sungai untuk bermain domino.? Di sini, kata 'domino' adalah suatu permainan kata dari penggunaan istilah 'Domine' yang begitu sering muncul dalam ritual misa Katolik. Anak-anak, tentu saja, tidak mengerti kata-kata dalam misa karena diucapkan dalam bahasa Latin. Dalam nada yang sama, orang-orang yang tertarik pada seni permainan silap mata tahu bahwa semua tukang sulap, saat mereka melakukan keterampilan mereka, menggunakan kata-kata tertentu untuk melakukan sulapnya. Mereka akan mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti ?abrakadabra?, ?presto chango?, dan mungkin yang paling terkenal di antara semuanya, ?hocus pocus?. Bahkan, sekarang ini, kita menggunakan istilah ?hocus pocus? untuk menggambarkan suatu jenis seni sulap. Itu merupakan suatu mantra yang digunakan oleh tukang sulap untuk melakukan sulapnya. Akan tetapi, dari mana frasa ?hocus pocus? berasal? Asal-usul kata itu, sekali lagi, diperoleh dari kesalahpahaman orang-orang terhadap bahasa yang digunakan dalam misa Katolik Roma. Dalam perkataan adat kebiasaan yang dilafalkan dalam bahasa Latin dalam formula kunonya, kalimat itu diucapkan sebagai berikut: ?hoc est corpus meum?. Frasa ini adalah terjemahan bahasa Latin dari kata-kata Yesus dalam Perjamuan Terakhir: ?Inilah tubuh-Ku?. Akan tetapi, dalam misa, bagi telinga-telinga yang tidak terlatih, keajaiban perubahan unsur-unsur roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus terdengar di bawah rubrik bahasa yang terdengar seperti ?hocus pocus?. Turunan kata seperti ini merupakan akibat langsung dari orang-orang yang dilibatkan dalam semacam drama ketika kata-kata yang diucapkan tetap tidak mereka mengerti. Pada abad pertengahan, gereja berkomitmen untuk melakukan misa dalam bahasa Latin kuno. Bahasa itu dipahami oleh orang-orang terpelajar, khususnya oleh para imam, tetapi tidak dimengerti oleh orang awam. Sejak abad ke-9, berbagai pertanyaan muncul mengenai tepat atau tidaknya jika Firman Allah dibiarkan tidak jelas bagi orang awam dengan membatasinya dalam bahasa Latin. Alkitab sendiri secara harfiah dirantai pada mimbar gereja supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak terampil dalam bahasanya. Alkitab tidak diberikan kepada orang awam untuk menafsirkannya sendiri atau membacanya dalam bahasa yang umum dipakai oleh orang-orang. Dibutuhkan berabad-abad lamanya bagi gereja untuk menang atas pergumulan ini, dan itu memunculkan isu-isu tentang bidah dan tentang penganiayaan. Sebelum Reformasi pada abad ke-16, di antara orang-orang yang berbahasa Inggris, karya Tyndale dan Wycliffe dikecam oleh gereja karena orang-orang ini berani menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa selain bahasa Latin. Pada tahun 1521, pertemuan Dewan Kekaisaran Worms berakhir secara dramatis ketika Luther, di hadapan Kaisar Romawi Suci, menolak untuk mengakui kesalahan tulisannya, dan mengatakan kepada orang-orang yang berkumpul pada waktu itu: ?Kecuali saya diyakinkan dengan Kitab Suci atau alasan yang kuat, saya tidak akan mengakui kesalahan. Sebab, hati nurani saya tertawan oleh Firman Allah. Di sinilah, saya berdiri; saya tidak bisa melakukan yang sebaliknya. Kiranya Tuhan menolong saya.? Dengan kata-kata yang dramatis itu, Dewan menjadi sangat marah dalam teriakan protes, sementara teman-teman Luther berpura-pura melakukan penculikan, melarikannya dengan cepat dari Worms, lalu menyembunyikan dia di Wartburg Castle di Eisenach. Di sana, selama satu tahun penuh, Luther, yang menyamar sebagai biarawan, mengerjakan proyeknya untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dari teks asli bahasa Yunani. Beberapa orang menganggap hadirnya Alkitab dalam bahasa daerah ini merupakan salah satu kontribusi terbesar yang dikerjakan Luther bagi kehidupan gereja. Namun, hal itu tidak diterima dengan tenang di semua tempat. Seorang ahli terkemuka dari zaman renaissance, Erasmus dari Rotterdam, yang motonya adalah ?ad fontes? (?ke sumber?), yang terkenal karena penguasaannya terhadap bahasa-bahasa kuno, memprotes kelancangan Luther untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah. Erasmus cukup menghormati Luther untuk melihat bahwa Luther adalah seorang ahli bahasa kelas dunia berdasarkan kemampuannya. Akan tetapi, dia mengecam Luther karena berani menentang gereja dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman. Dia menasihati Luther dengan mengatakan bahwa jika Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa umum dan diberikan kepada orang-orang untuk dibaca oleh mereka sendiri, itu akan ?membuka pintu air kesalahan?. Erasmus yakin bahwa memberikan Alkitab ke tangan orang-orang dalam bahasa mereka sendiri akan memberi mereka izin untuk mengubah Alkitab menjadi sesuatu yang mudah dipengaruhi, diputarbalikkan, diubah, dan diselewengkan ke arah kecenderungan atau pendapat pribadi apa pun yang bisa ditarik seseorang dari Kitab Suci. Luther menyetujui hal ini, bahwa jika orang-orang yang tidak terlatih diberi hak untuk membaca Alkitab sendiri dalam bahasa mereka sendiri, banyak kesalahan yang akan muncul dari itu, dan orang-orang akan menggunakan Alkitab untuk berusaha membenarkan semua kemungkinan bidah yang paling liar. Namun, di sisi lain, Luther yakin terhadap penerangan yang jelas dari Kitab Suci, yaitu bahwa pesan intinya mengenai keselamatan begitu jelas sehingga anak kecil sekalipun bisa memahaminya. Luther percaya bahwa kata-kata yang mengarah kepada keselamatan yang disampaikan di dalam Kitab Suci sangatlah penting sehingga menempatkan kesempatan menuju keselamatan di hadapan semua orang itu layak dilakukan, meskipun beberapa konsekuensi mengerikan mungkin saja keluar dari pembacaan semacam itu. Dia menjawab Erasmus dengan berkata, ?Jika pintu air kesalahan dibuka, maka terjadilah.? Di tengah kebangkitan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa umum, muncullah prinsip dasar tentang penafsiran pribadi. Prinsip penafsiran pribadi itu sangat dikecam oleh Gereja Katolik Roma dalam sesi keempat pada Council of Trent pada pertengahan abad ke-16. Namun, semua itu telah terjadi, dan sejak saat itu, Alkitab diterjemahkan ke dalam ribuan bahasa, dan usaha-usaha untuk menerjemahkan Alkitab ke semua bahasa terjadi di mana-mana di muka bumi ini. Ramalan kekhawatiran Erasmus pun terjadi dalam banyak cara dengan berkembang pesatnya denominasi-denominasi, masing-masing menyebut diri mereka alkitabiah. Namun, pada saat yang sama, Injil keselamatan dalam Kristus diketahui secara luas di seluruh dunia karena Alkitab diberikan dalam bahasa daerah, dan tersedia bagi semua orang. Pastinya, penafsiran pribadi tidak memberikan izin untuk penyimpangan pribadi. Siapa saja yang berani menerjemahkan Alkitab sendiri harus menerima bahwa hak itu datang bersamaan dengan tanggung jawab luar biasa untuk menerjemahkannya dengan tepat. (t/Jing-Jing) Pokok doa:
Diterjemahkan dari:
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |