Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-binaanak/208 |
|
e-BinaAnak edisi 208 (14-12-2004)
|
|
><> Milis Publikasi Elektronik untuk Para Pembina Anak <>< Daftar Isi: Edisi 208/Desember/2004 ~~~~~~~~~~~ o/ SALAM DARI REDAKSI o/ RENUNGAN (1) : Sederhana Namun Tak Ternilai o/ RENUNGAN (2) : Menjadi Miskin Karena Kita o/ KESAKSIAN NATAL : Saat Kami Merayakan Natal Secara Sederhana o/ DARI ANDA UNTUK ANDA : Selamat Hari Natal dan Tahun Baru o/ MUTIARA GURU =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan ke staf Redaksi: <staf-BinaAnak@sabda.org> atau <owner-i-kan-BinaAnak@xc.org> =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ SALAM DARI REDAKSI Salam kasih dalam Yesus Kristus, Satu hal yang biasanya dipikirkan oleh guru-guru Sekolah Minggu menjelang Natal adalah bagaimana dapat membuat perayaan Natal yang berkesan bagi anak-anak Sekolah Minggunya. Pernahkah Anda berpikir untuk merayakan Natal secara sederhana tetapi mengesankan? Ketika Kristus lahir, Ia lahir sebagai seorang yang papa, hina dan miskin. Ia miskin untuk kita. Betapa luar biasanya kenyataan ini. Dia yang adalah Allah pemilik segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di surga, tapi rela untuk menjadi miskin demi manusia. Natal merupakan perayaan yang membuktikan bahwa kasih Allah kepada manusia sungguh luar biasa. Nah, berkaitan dengan hal tersebut, e-BinaAnak Edisi 208/2004 mengangkat tema KESEDERHANAAN NATAL. Anda dapat belajar bagaimana merayakan Natal dengan sederhana namun berkesan melalui sajian- sajian yang sudah kami siapkan berikut ini. Semoga, Natal bersama anak-anak Sekolah Minggu Anda menjadi Natal yang tak terlupakan. Tuhan memberkati! Tim Redaksi "Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya." (2Korintus 8:9) < http://www.sabda.org/sabdaweb/?p=2Korintus+8:9 > =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ RENUNGAN (1) SEDERHANA NAMUN TAK TERNILAI ============================ GIGI GRAHAM TCHIVIDJIAN Pernahkah Anda bertanya-tanya dalam hati bagaimana malam Natal yang pertama itu dirayakan? Apakah kerubim dan serafim -- para malaikat dengan tugas yang berbeda -- begitu sibuk mempersiapkan kedatangan Tuhan yang turun ke bumi dalam wujud bayi laki-laki? Mungkin di suatu tempat di surga, para malaikat surgawi saat itu sibuk mempersiapkan pertunjukan yang luar biasa untuk dinyatakan kepada para gembala. Sementara, malaikat lain menyusun rencana untuk menampakkan sebuah bintang khusus yang akan menuntun orang-orang majus. Mungkin pula, malaikat lainnya sedang mengawasi Yusuf dan Maria tatkala mereka sedang menuju kandang domba. Tentu saja, kita takkan pernah tahu dengan pasti apa yang sesungguhnya terjadi, namun yang kita ketahui adalah bahwa ketika semua telah siap, "Allah mengutus Anak-Nya" (Galatia 4:4). Dan semua penghuni surga berkumpul tatkala Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan itu menanggalkan kemuliaan-Nya, dan meletakkannya di bawah kaki sang Bapa sembari berkata, "Engkau telah menyediakan tubuh bagiku .... Sungguh, Aku datang ... untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku" (Ibrani 10:5,7). Persiapan yang dilakukan di surga begitu rumit, namun orang-orang di dunia yang terlibat dalam Natal yang pertama itu menyambut-Nya dengan sederhana. Hati dari beberapa orang yang tidak meremehkan Natal itu adalah Maria, Yusuf, para gembala, orang majus -- tampak sangat bersahaja. Tempat kelahiran-Nya pun sederhana, yakni sebuah kandang kecil di sebuah kota yang kecil pula. Perayaannya juga sederhana: para gembala, para pekerja keras meninggalkan pekerjaan mereka selama beberapa jam untuk pergi dan "melihat apa yang terjadi di sana" (Lukas 2:15). Setelah itu, mereka pun kembali pada tanggung jawab masing-masing. Persembahan yang mereka berikan pun begitu sederhana, namun tak ternilai: * Yusuf mempersembahkan ketaatannya. * Maria mempersembahkan tubuhnya. * Para gembala mempersembahkan kasih mereka yang mendalam. * Para orang majus mempersembahkan penyembahan mereka. Namun, pada saat yang sama ada juga orang-orang yang kehilangan makna Natal yang pertama: * Pemilik penginapan yang terlalu sibuk memperhatikan tamu- tamunya. * Para tamu yang terlalu memusatkan perhatian pada kenikmatan jasmani dan urusan pribadi, sehingga tak tersentuh oleh peristiwa yang terjadi di kandang domba itu. * Raja Herodes yang begitu larut dalam perasaan tidak nyamannya, istananya, dan impian-impiannya yang menyedihkan untuk menggapai kemuliaan. Mereka semua terlalu sibuk, begitu terpaku, dan terlilit oleh berbagai hal. Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah dalam beberapa tahun terakhir ini saya juga telah kehilangan makna Natal yang sesungguhnya. Apakah saya terlalu sibuk dan terlalu dikuasai oleh hal-hal yang berbau materi dan pujian orang? Apakah saya terancam kehilangan makna Natal yang sejati? Saya kira Tuhan tak pernah menghendaki kita mengurangi kesenangan di hari Natal. Lagi pula, Dia sendiri telah "memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati" (1Timotius 6:17). Mungkin, sebaiknya tahun ini, kita membuat daftar baru di hari Natal yang berisi: * Memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak. * Memberi lebih banyak waktu dan penghargaan kepada orangtua dan pasangan hidup. * Lebih mampu menerima tanpa syarat keberadaan anak-anak yang mulai beranjak remaja. * Lebih mengasihi dan memperhatikan teman-teman. Lalu, bagaimana dengan hadiah kita bagi Pribadi yang ulang tahun-Nya kita rayakan? Yang diminta-Nya adalah penyerahan diri kita, dengan segala kesalahan dan kegagalan, masalah dan ketakutan. Dan inilah Natal yang sejati: Allah memberi, kita menerima, Allah menggenapi. Sungguh Natal yang penuh berkat! Bahan diedit dari sumber: Judul Buku : Embun Bagi Jiwa Natal Penulis : Alice Gray Penerbit : Gloria Gaffa, Yogyakarta, 2000 Halaman : 113 - 115 =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ RENUNGAN (2) MENJADI MISKIN KARENA KITA ========================== Menurut Paulus, Natal adalah ketika Kristus menjadi miskin. Menjadi miskin karena kita. Menjadi miskin untuk kita (2Korintus 8:9). Di dalam Dia, manusia tak lagi terbagi atas kaya dan miskin. Pada dasarnya, seluruh umat manusia, Anda dan saya adalah miskin. Mengapa? Karena sesungguhnya, tak seorang manusia pun di dunia ini, yang kini masih memiliki kemanusiaannya. Dengan kata lain, seluruh umat manusia dikatakan miskin karena manusia telah kehilangan dirinya sendiri. Kehilangan dirinya sendiri? Ya! Karena ketika manusia menganggap kemanusiaan dan dirinya itulah satu-satunya yang penting di dunia ini; ketika ia mulai mempersetankan Tuhan dan sesamanya, kecuali dirinya sendiri; justru ketika itulah, ia hanya menjadi budak dari nafsunya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang penuh. Ia miskin, karena kemanusiaannya larut di dalam rangsangan-rangsangan nafsu dan kekerasan hati. Tetapi, juga ketika manusia berpendapat bahwa kemanusiaannya itu bukanlah apa-apa. Dan ia menjadi makhluk yang serba pasrah dan mengalah. Serba tergantung dan bergantung. Ketika ia meyakinkan dirinya bahwa semua itu serba hebat dan kuat, serba raksasa, dan mahakuasa, kecuali dirinya. Ketika itulah, ia menjadi budak dari sekitarnya, hamba dari sesamanya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang penuh. Ia miskin, karena kemanusiaannya dihanyutkan oleh arus dan gelombang keadaan sekitarnya. Karena kemiskinan kita itulah, Kristus menjadi miskin. Dan ketika Dia menjadi miskin itulah, kata Paulus, itulah Natal! Agar kita menyadari kembali tentang kemiskinan kita. Tetapi, bukankah persiapan-persiapan Natal yang kita selenggarakan, betapa acap, justru menunjukkan hal yang sebaliknya? Tidak menunjukkan keprihatinan dan kemiskinan kita, tetapi kelimpahan dan kekayaan kita? Tidakkah pesta-pesta Natal kita paling sedikit ingin memperlihatkan semua kehebatan yang dapat kita usahakan? Tentu saja! Bukan karena kita tidak tahu akan kemiskinan kita, melainkan karena kita berusaha untuk tidak mau tahu. Sama seperti seorang berwajah buruk, tetapi menjadi marah besar ketika melihat wajahnya melalui sebuah cermin. Ia membanting cermin itu, supaya dapat terus hidup dalam khayalannya. Ia tidak mau menerima kenyataan dirinya yang telanjang. Oleh karena itulah, kita juga sering berusaha untuk menyulap Natal. Dari sebuah pesta yang miskin dan sederhana, menjadi pesta yang mewah melimpah-ruah. Cermin itu kita pecahkan, supaya kita dapat terus hidup dalam khayal kita yang indah. Sebab itu, tidak cukup mengembalikan arti Natal hanya dengan sekadar melarang orang berpesta-pesta. Karena pesta-pesta itu hanya lahir sebagai akibat, bukan sebagai penyebab. Soal yang paling utama adalah apakah kita mau menerima kenyataan, betapa miskinnya kita? Tetapi di lain pihak memang benar bahwa Natal adalah juga ketika Kristus memproklamirkan, bahwa kita semua kini menjadi kaya di dalam Dia. Meskipun demikian, kenyataan ini juga tidak dapat memaafkan pemborosan pesta-pesta Natal kita! Karena kalau Dia mengatakan bahwa kita kaya di dalam Dia, maka kekayaan kita tidak terletak pada kemampuan kita mengumpulkan dana. Tidak juga terletak pada kesanggupan kita mengorganisir pesta-pesta yang meriah. Tidak juga terletak pada kemampuan kita mengerahkan massa dan semua persiapan pesta Natal yang kita lakukan. Sebab betapa sering Natal itu hanyalah pesta di antara kita sendiri, pesta yang kita adakan tanpa Dia! Natal memang menyajikan sebuah kesukaan yang abadi, bila kita menemukan diri kita kembali. Dan kita pun menjadi kaya di dalam Dia. Namun betapa sia-sianya pesta-pesta itu sekiranya kita hanya melanjutkan khayal kita yang indah, dan terus hidup tanpa Kristus! Bahan diedit dari sumber: Judul Buku: Mencari Natal yang Hilang Penulis : Eka Darmaputera Penerbit : Gloria Gaffa, Yogyakarta, 2003 Halaman : 39 - 42 =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ KESAKSIAN NATAL SAAT KAMI MERAYAKAN NATAL SECARA SEDERHANA ========================================== Sejauh yang saya ingat, keluarga kami sudah sering membicarakan tentang Natal yang dirayakan secara sederhana. Setiap tahun, setelah berbelanja, ibu saya akan pulang kelelahan atau setelah berjam-jam memanggang kue, ibu akan duduk di dekat meja dapur sambil memejamkan matanya, menarik napas, dan berkata, "Saya tidak mau lagi menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang merepotkan ini. Tahun depan kita akan merayakan Natal secara sederhana." Dan apabila ayah saya mendengar perkataan ibu, ia pasti akan menyetujuinya. "Ya, merayakan Natal seperti ini tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan." Waktu kami masih kecil, saya dan saudara perempuan saya takut kalau- kalau ibu dan ayah akan segera menggenapi tekad mereka untuk menghemat biaya ketika merayakan Natal. Tetapi kalau ayah dan ibu memutuskan begitu, pikir kami, ada beberapa hal yang ingin kami perbaiki. Dua hal di antaranya adalah paman ibu saya, Lloyd dan istrinya, Amelia. Sering Lizzie dan saya berpikir mengapa keluarga harus mempunyai sanak saudara, terutama mengapa kami ditakdirkan mempunyai saudara seperti Kakek Lloyd dan Nenek Amalia. Mereka pasangan yang kaku dan tidak menyenangkan. Mereka datang setiap Natal, memberi hadiah saputangan untuk Lizzie dan saya. Sebagai gantinya, mereka mengharapkan suasana yang tenang, penuh pelayanan, dan penuh hormat. Dan saya berarti harus merelakan kamar tidur saya untuk mereka. Lizzie dan saya sudah lama menyadari bahwa mereka memang orang miskin dan kami bersimpati dengan keadaan mereka. Tetapi kami rasa kemiskinan bukan berarti membolehkan mereka untuk bersikap dingin, kaku, dan tidak ramah. Walaupun begitu, kami tetap menghormati mereka sebagai anggota keluarga kami. Dan selama bertahun-tahun, kedatangan mereka sudah merupakan bagian dari Natal, sama seperti pohon parasit. Waktu berlalu sampai saya kuliah di tahun pertama. Mungkin karena saya tidak ada di rumah, maka ibu mulai menyinggung tentang Natal yang dirayakan secara sederhana tahun itu. "Karena tidak disibukkan dengan segala persiapan," tulisnya kepada saya, "kita akhirnya mempunyai waktu dan tenaga untuk menghargai Natal." Seperti biasanya, ayah sependapat dengan ibu, tetapi menambahkan dengan sentuhannya sendiri. Kami tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari satu dolar untuk membeli hadiah. Kata ayah, "Kami tidak mempersoalkan harganya tetapi kami kuatir, pikiran kita lebih tertuju pada hadiahnya." Sayalah yang mengusulkan supaya perayaan Natal secara sederhana ini hanya terbatas untuk kami berempat. Usul itu diterima. Ibu menulis surat bernada ramah untuk pamannya, Lloyd. Dalam surat itu ibu menjelaskan, karena saya kuliah, karena satu dan lain hal, maka kami tidak merayakan Natal seperti biasanya. Karena itu, mungkin akan lebih menikmatinya bila mereka tidak repot-repot datang. Ayah melampirkan selembar cek, hadiah yang tidak diduga-duga. Saya sampai di rumah dari kampus pada Natal tahun itu, ingin tahu apa yang akan terjadi. Di pintu depan tergantung hiasan Natal yang merupakan sambutan yang sesuai. Di ruang tamu, ada sebuah pohon Natal, dan saya akui waktu pertama kali melihatnya hati saya seperti tertusuk. Pohon tiruan itu begitu kecil dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pohon Natal tahun-tahun sebelumnya yang berbau khas, kokoh, dan mewah. Tetapi semakin lama saya perhatikan pohon itu dengan hadiah sedolar yang terbungkus dengan warna cerah di bawahnya, saya menjadi terbiasa. Bahkan saya mulai berpikir, pohon yang asli dapat menimbulkan sampah dan bahaya kebakaran, dan betapa anehnya, ada pohon hidup di dalam rumah. Rupanya gagasan merayakan Natal secara sederhana ini sudah dapat saya terima. Pada malam Natal, ibu menyediakan hidangan lezat yang mudah dimasak dan sesudah itu, kami duduk berkumpul di ruang tamu. "Menyenangkan sekali," gumam Lizzie sambil merapat di kursi merah muda berbentuk kubis yang besar. "Ya," kata ayah menyetujui. "Suasananya tenang. Saya tidak kelelahan. Baru partama kali ini saya merasa, saya dapat tetap terjaga sampai kebaktian nanti." "Natal tahun lalu," kata saya kepada ibu, "pada waktu seperti ini, Ibu masih di dapur menyelesaikan pekerjaan sesudah memasak berjam- jam. Lebih banyak kue lagi. Juga lebih banyak kue buah." Saya ingat biasanya saya memaksa-maksa mencicipi kue buah buatan Ibu. "Padahal sebetulnya saya tidak menyukainya," aku saya sambil tertawa. "Ibu tidak tahu itu," kata ibu. Ia berpikir sebentar. Lalu wajahnya menjadi cerah. "Tetapi Bibi Amelia -- dia sangat menyukainya!" "Mungkin ia hanya bersikap sopan saja," kata Lizzie terang-terangan. Lalu kami terdiam. Satu per satu, akhirnya kami menghabiskan waktu dengan membaca. Ayah tertidur sebentar sebelum pergi ke gereja. Menjelang malam Natal, kami tidur agak malam dan begitu bangun, kami langsung sarapan sebelum membuka hadiah. Dan betapa senangnya kami sewaktu membukanya! Kami tertawa gembira karena kecerdikan dan gagasan segar yang kami miliki. Saya memberi ibu seperangkat bros yang saya buat dari sendok pengukur yang terbuat dari alumunium yang dihiasi permata tiruan. Ibu memakainya sepanjang hari, paling tidak sampai kami pergi ke Dempsey. Di Dempsey, rumah makan terbaik di kota, kami menikmati santapan dengan nyaman dan tidak terburu-buru. Setelah sop kaldu dihidangkan, ada kejadian yang membuat kami merasa canggung. Kami mulai mengangkat sendok. Lalu ayah menyarankan supaya kami berdoa mengucap syukur. Kami mulai berpegangan tangan di sekeliling meja seperti yang biasa kami lakukan di rumah. Mulanya kami ragu-ragu dan menarik kembali tangan kami. Tetapi kemudian, kami semua bertekad untuk tidak mau ditakut-takuti oleh suasana di tempat umum, kami tetap berpegangan tangan, dan berdoa mengucap syukur. Tidak banyak yang terjadi sepanjang sisa hari itu. Malam hari saya ke dapur, membuka lemari es, melihat-lihat sebentar, lalu menutup pintu dan kembali ke ruang tamu. "Hanya main-main," kata saya, sama sekali tidak menyangka akibat ucapan saya yang berikutnya. "Saya hanya mau mencuil sepotong daging kalkun." Ibu menjawab dengan suara datar, "Ibu tahu kamu ke dapur untuk itu. Dari tadi Ibu sudah menunggu-nunggunya." Ibu tidak dapat menahan isak tangisnya lebih lama lagi. "Kate!" teriak ayah, cepat-cepat mendekatinya. "Maafkan saya, maafkan saya," gumam ibu bercampur sedih. "Mengapa sayang? Ceritakanlah kepada kami." "Karena Natal yang dirayakan secara sederhana yang mengerikan dan tidak menyenangkan ini." Kami semua tahu maksudnya. Natal kami kali ini dibuat-buat, seperti pohon Natal buatan itu; semangat Natal tidak begitu terasa. Dengan perayaan Natal secara sederhana seperti ini, kami telah kehilangan makna Natal yang sesungguhnya dan bahkan kami telah melupakan orang lain. Ini berarti kami menyangkal Dia yang kelahiran-Nya kami peringati. Kami menyadari bahwa kami masing-masing mementingkan diri sendiri pada hari Natal ini, tetapi ibu yang menanggung kesalahannya. Setelah tangisan ibu agak reda dan kami berhasil menenangkannya, ibu mulai menjelaskan dengan caranya yang membuat kami bingung. Ibu seharusnya memasak di dapur tadi malam dan bukannya membuang-buang waktu," katanya mencoba menutupi perasaannya dengan kemarahan. "Jadi kamu tidak suka kue buah buatan Ibu, Harry? Sayang sekali. Padahal Bibi Amelia sangat menyukainya! Dan Elizabeth, meskipun bibi tidak menyukainya, seharusnya kamu tetap menghormati yang lebih tua. Kalian tahu siapa lagi yang menyukai kue buah itu? Ibu Donegan di ujung jalan itu menyukainya. Dan ia tidak menerima bingkisan Natal dari Ibu tahun ini. Mengapa? Karena kita mencoba merayakannya dengan sederhana." Lalu ibu menyalahkan ayah sambil menudingkan jarinya, "Kita tidak bisa berhemat-hemat untuk merayakan Natal, Lewis! Lihat akibatnya, kita sudah menutup pintu hati kita." Tampaknya perkataan itu sudah merangkum semuanya. Tetapi rupanya Lizzie mempunyai cara lain untuk mengemukakan pendapatnya. Ia menuliskannya dalam sepucuk surat setelah saya kembali kuliah. Suratnya enak dibaca. "Ibu merasa," tulis Lizzie, "tegangan dan tekanan itu merupakan kepedihan yang timbul pada hari Natal. Saya juga merasa begitu. Saya yakin, dari usaha, kelelahan, dan kesibukan yang kita lakukan dapat terjadi hal-hal yang mengejutkan, yang membawa ketentraman, sesuatu yang istimewa, dan tak ternilai harganya setiap tahun. Dan bila dari apa yang kita lakukan itu hanya dapat dirasakan sekejap saja, maka sudah sepatutnya kita mengeluh." Apabila keluarga saya menganggap tahun itu seperti tidak pernah ada Natal, maka Natal berikutnya merupakan Natal yang sangat mewah. Natal itu sangat meriah dan merupakan masa yang paling melelahkan dalam keluarga kami. Dan itu bukan karena kami menghabiskan uang yang lebih banyak, tetapi karena kami sepenuhnya menikmati kegembiraan dalam mempersiapkan hari Natal. Di hutan, di pinggir kota, kami menebang pohon cemara terbesar yang pernah kami miliki. Lizzie dan saya menghiasi rumah dengan warna hijau. Aroma yang lezat datang dari dapur karena ibu terus-menerus memanggang kue. Kami tertawa, mendendangkan lagu-lagu Natal dan bersenda gurau. Bahkan pasangan yang biasanya berwajah kaku, paman ibu saya, Lloyd dan istrinya, Amelia, kelihatan agak gembira. Tetapi melalui merekalah saya tiba-tiba dapat merasakan aliran kehangatan dan keagungan perayaan ini, meskipun hanya sekejap, yang membuat Natal jadi berarti. Itu terjadi ketika kami duduk di ruang makan dan saling berpegangan tangan untuk mengucap syukur, waktu saya menggenggam tangan bibi ibu saya, Nenek Amelia. Saya belajar sesuatu mengenai dia dan belajar tentang memberi, yang mungkin tidak dapat saya pahami tanpa Natal. Tangan yang saya genggam itu dingin. Saya dapat merasakan ruas-ruas jari-jari tangannya yang menonjol, dan dapat membayangkan penyakit radang sendi yang dideritanya bertahun-tahun telah membuat jari-jari tangannya begitu. Barulah saya dapat menghargai saputangan yang Lizzie dan saya terima tahun ini, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya, saya dapat melihat dengan jelas sulaman yang halus, hasil jahitan yang rapi -- hadiah dari bibi ibu saya Nenek Amelia, yang diberikan setiap tahun dengan penuh kasih untuk kami. /Henry Appers Bahan diedit dari sumber: Judul Buku : Kisah Nyata Seputar Natal Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1989 Halaman : 44 - 48 =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ DARI ANDA UNTUK ANDA Dari: <nianshe@> >Saya ingin mengucapkan Selamat Hari Natal kepada segenap redaksi >e-binaanak. Bahan-bahan seputar Natal yang sudah saya terima dari >tahun-tahun lalu banyak yang sudah dan akan saya gunakan dalam >kegiatan SM saya sepanjang bulan Desember ini. >Maju terus dalam pelayanan! >Nia Redaksi: Selamat Hari Natal 2004 dan Tahun Baru 2005 juga kepada Anda dan rekan-rekan sepelayanan semuanya. Kalau Anda memakai bahan-bahan Natal yang pernah disajikan dalam e-BinaAnak, apakah Anda punya pengalaman istimewa ketika menggunakan bahan-bahan tersebut? Silakan Anda sharingkan kepada kami agar dapat menjadi berkat bagi rekan-rekan pembaca e-BinaAnak lainnya. Kirimkan pengalaman Anda ini ke: ==> <staf-BinaAnak@sabda.org> =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ o/ MUTIARA GURU O Yesus, bayi Allah yang suci! Betapa menakjubkan kasih-Mu yang murni! Isilah hatiku dengan kasih besar-Mu! - Lagu Natal Jerman Tradisional - =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ Staf Redaksi: Davida, Ratri, Murti Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA Didistribusikan melalui sistem network I-KAN Copyright(c) e-BinaAnak 2004 YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ =^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^ Untuk berlangganan kirim e-mail ke: <subscribe-i-kan-BinaAnak@xc.org> Untuk berhenti kirim e-mail ke: <unsubscribe-i-kan-BinaAnak@xc.org> Untuk Arsip e-BinaAnak: http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/ Pusat Elektronik Pelayanan Anak Kristen: http://www.sabda.org/pepak/ ><> ========= PUBLIKASI ELEKTRONIK UNTUK PEMBINAAN ANAK ========== <><
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |