Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-binaanak/413 |
|
e-BinaAnak edisi 413 (24-12-2008)
|
|
___e-BinaAnak (Milis Publikasi Elektronik untuk Para Pembina Anak)____ DAFTAR ISI EDISI 413/DESEMBER/2008 - SALAM DARI REDAKSI - ARTIKEL 1: Natal -- Selalu Penuh Rahasia - ARTIKEL 2: Orang Majus yang Unik - WARNET PENA: Nuansa Natal dalam SABDA Space - MUTIARA GURU ______________________________________________________________________ o/ SALAM DARI REDAKSI o/ Salam kasih, Natal selalu memiliki kisah tersendiri di hati orang-orang yang memaknainya dengan dalam. Kesaksian-kesaksian Natal bergema menyuarakan Natal yang indah dan penuh berkat. Demikian pula dalam edisi pamungkas e-BinaAnak untuk tahun 2008 ini. Natal yang penuh makna, redaksi gaungkan melalui kesaksian-kesaksian indah nan memberkati dalam edisi ini. Biarlah malam Natal yang indah ini penuh dengan kedamaian dan sukacita yang sama seperti lebih dari 2000 tahun yang lalu. Dan biarlah pula kita menyongsong tahun yang baru dengan penuh asa dan iman teguh dalam Kristus, Sang Natal itu. Dan akhirnya, tiba saatnya bagi kami, segenap Tim Redaksi e-BinaAnak, mengucapkan kepada Rekan-Rekan sekalian, "SELAMAT HARI NATAL 2008 dan TAHUN BARU 2009" Harapan kami, segala yang terjadi di tahun ini membawa kita semua melihat bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang berserah dan percaya kepada-Nya. Dan di tahun mendatang, kita tetap percaya bahwa bersama Yesus kita dapat melakukan perkara-perkara yang lebih besar lagi, untuk hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin! Sampai jumpa dalam edisi-edisi e-BinaAnak 2009. Tim Redaksi e-BinaAnak, Davida Welni Dana Kristina Dwi Lestari Christiana Ratri Yuliani "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud." (Lukas 2:11) < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Lukas+2:11 > ______________________________________________________________________ o/ ARTIKEL 1 o/ NATAL -- SELALU PENUH RAHASIA Oleh: Doris Swehla Phyllis bukan anak yang mudah untuk dikasihani. Saya menginginkan yang terbaik baginya dan saya berdoa supaya Tuhan memberkatinya, tetapi kadang-kadang saya memang berharap ia tidak termasuk dalam kelompok sekolah minggu yang saya ajar. Rambutnya berserabut, kuku tangannya kotor, dan hidungnya beringus. Ia menjauhi anak-anak yang lain dan ia biasa berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Selain itu, ia tidak pernah duduk dengan tenang, ia benci disentuh, dan kalau berbicara ia selalu tak mau mengalah. Waktu itu saya berumur 20 tahun, dan tahun itu untuk pertama kalinya saya mempersiapkan sandiwara di gereja tua yang besar, Gereja Baptis Tabernakel di sebelah barat Chicago. Pada permulaan masa Adven, saya memegang lembaran ketikan naskah sandiwara Natal sambil berdiri di depan anak-anak yang berkumpul. "Siapa yang mau mendapat peran yang terlibat dalam percakapan, angkat tangan," kata saya, dan hampir semua anak mengangkat tangannya. Tetapi, tentu saja tidak termasuk Phyllis. Dan setelah membagikan peran untuk setiap anak yang berminat, saya masih memunyai beberapa peran. "Phyllis," kata saya, "maukah kamu mengucapkan sedikit kata-kata dalam sandiwara Natal?" "Siapa bilang saya mau ikut sandiwara?" katanya sambil menyilangkan tangannya di depan dada dan duduk miring ke belakang sehingga kursinya hanya bertumpu pada kedua kaki belakangnya. "Pada malam yang sama mungkin saya pergi ke pesta," katanya dengan angkuh. Tuhan, saya berdoa dalam hati, tolonglah saya untuk mengasihi Phyllis. "Tetapi kalau mau, saya masih memunyai beberapa peran." "Tidak akan," kata Phyllis, dan memang ia tidak mau. Pada waktu geladi bersih sore hari, anak-anak duduk di bagian depan bangku gereja yang digelapkan. Mereka berbisik-bisik, sementara itu orang-orang dewasa merapikan penutup kepala gembala-gembala yang terbuat dari handuk mandi dan menyempurnakan letak lingkaran cahaya yang terbuat dari perada di sekeliling kepala malaikat-malaikat. "Baiklah, ambil tempat masing-masing," teriak saya dari balik altar. Pembawa cerita memulai: "Pada waktu itu, dikeluarkan suatu keputusan ...." Saya merasakan desiran getaran halus. Sekali lagi saya terbawa ke dalam cerita yang sudah lama terjadi. "Maria tidak kelihatan seperti mau melahirkan seorang bayi," tiba-tiba terdengar gumaman pelan yang serak di belakang saya. Phyllis memang tidak mau ikut sandiwara, tetapi ia tidak mau melewatkan acara geladi bersih! "Stttt!" bisik saya, sambil menepuk tangannya. Ia merenggut tangannya dan berkata, "Iya, iya!" Di akhir adegan itu, lampu sorot hanya menyinari keluarga yang kudus itu, dan anak-anak bersenandung menyanyikan lagu "Malam Kudus". Bagus sekali -- tetapi siapa itu yang bergerak di depan palungan? Phyllis! Anda tidak tahu di mana anak itu akan muncul. Sekarang ia memasukkan tangannya ke dalam palungan, meremas tangan boneka yang ada di dalamnya, dan menghilang di tengah kegelapan. "Phyllis," kata saya, "apa yang kaulakukan di sana?" "Saya hanya melihat-lihat," katanya. "Lagi pula di dalamnya bukan bayi. Hanya sebuah boneka. Saya menyentuhnya." Tuhan, tolonglah saya untuk mengasihi Phyllis. "Baiklah," kata saya kepada para pemain. "Setiap orang harus sudah ada di sini pada pukul setengah tujuh untuk berganti pakaian dan bersiap-siap supaya dapat dimulai tepat jam tujuh. Sampai nanti malam." Phyllis menghentakkan kakinya di sepanjang jalan di antara deretan tempat duduk, bersama anak-anak yang mau pulang. Mudah-mudahan, pikir saya, ia sudah puas melihatnya sore ini dan tidak kembali malam nanti. Saya tahu pikiran seperti itu bukan suatu tanggapan orang Kristen, tetapi saya benar-benar mengharapkan supaya sandiwara itu berjalan dengan lancar. Sekitar pukul 18.45 suasana di balik panggung ramai dan sibuk. Para malaikat saling membantu mengenakan jubah yang terbuat dari seprai. Yusuf dan orang-orang majus mengatur kawat janggut yang dikaitkan di belakang telinga mereka. Maria memandang ke cermin, mencoba untuk menangkap ekspresi yang tepat sebagai ibu Juru Selamat. Saya berjalan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain, membantu sebisa mungkin. Phyllis tidak terlihat dan saya mulai tenang. Satu menit sebelum pukul tujuh, Ny. Wright masuk. Ia menggendong bayinya yang mungil yang baru lahir. Bayinya terbungkus kain putih, bayi ini akan mengganti boneka yang kami pakai dalam geladi bersih. "Bayi ini baru disusui," katanya, "jadi ia akan tidur selama sandiwara." "Anda dapat menaruhnya di palungan sesudah lampu dipadamkan," bisik saya. Ketika suara piano mulai terdengar, saya duduk di kursi saya, yang disediakan untuk juru bisik di barisan depan bangku gereja. Diiringi dengan alunan musik pembuka, "Penjaga, Beritakan kepada Kami", palungan itu disoroti cahaya lampu dan pembawa cerita memulainya. Tetapi bukannya merasakan getaran seperti biasanya apabila saya mendengar awal cerita Natal, saya malahan merasa sesuatu menghantam dan mendorong lutut saya. "Geser," terdengar suara yang sudah saya kenal betul. "Saya tidak jadi pergi ke pesta." Tanpa melepaskan pandangan dari sandiwara yang sedang berlangsung, saya bergeser dan menepuk lutut Phyllis. Tetapi ia menepiskan tangan saya kembali ke pangkuan saya. "Saya berusaha, ya Tuhan," kata saya. Para malaikat bernyanyi di depan para gembala. Para gembala kembali ke Bethlehem dan mengambil anak domba untuk dipersembahkan kepada bayi Yesus. Orang-orang majus menghadap Raja Herodes, lalu mereka pergi ke palungan. Maria duduk di palungan "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya". Bagus sekali. Phyllis duduk dengan tenang sampai saya lupa ia berada di sebelah saya, tetapi waktu saya menyadari ia sudah pergi, sudah terlambat. Ia menghentakkan kakinya menuju palungan seperti yang dilakukannya pada waktu geladi bersih. Tetapi kali ini ia terkejut, terpesona, lalu membalik, matanya terbelalak takjub, dan cepat-cepat kembali menemui saya. "Dia hidup!" bisiknya dengan suara yang cukup keras. Dari barisan tempat duduk di seberang, seseorang bertanya, "Apa katanya?" "Katanya, `Dia hidup!`" Seperti riak air di kolam, kata-kata itu diteruskan dari barisan demi barisan sampai kembali lagi ke depan altar. "Dia hidup ... hidup ... hidup." Suasana menjadi gempar karena setiap orang merasakan hadirat Yesus. Dan itu adalah alasan sebenarnya dari apa yang kita rayakan. Dia hidup! Imanuel -- Tuhan beserta kita, Tuhan yang sudah menjelma menjadi manusia. Anak perempuan yang keras dan sukar dikendalikan sudah membawa kembali pesan Natal yang agung. Tuhan hidup! Lampu dinyalakan, dan waktu kami berdiri menyanyi "Kesukaan bagi Dunia", suara itu menggetarkan gereja kami yang besar dan tua, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Saya menaruh lengan saya di sekeliling bahu Phyllis yang kecil dan sempit. "Kamu adalah bagian yang terbaik dari sandiwara ini," bisik saya, sambil menariknya ke arah saya. "Saya tidak ikut sandiwara ini," katanya. Tetapi kali ini ia tidak mendorong saya. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal Judul asli buku: The New Guideposts Christmas Treasury Penulis: Doris Swehla Penerjemah: Ir. Ny. Christine Sujana Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1998 Halaman: 84 -- 87 ______________________________________________________________________ o/ ARTIKEL 2 o/ ORANG MAJUS YANG UNIK Oleh: Tema Adiputra Perayaan Natal saat aku duduk di kelas 3 SD di Kebayoran Baru, Jakarta, masih terekam kuat dalam benak dan hatiku. Terbukti dengan tetap teringatnya nama guru sekolah mingguku, Ibu Anna, dan nama pembina sekolah minggu, Ibu Wirakotan (istri Pdt. Wirakotan yang melayani GKI Kebayoran Baru). Itulah Natal pertamaku dan juga tahun pertamaku sebagai murid sekolah minggu di Jakarta, sejak aku datang dari Sibolga, Tapanuli Tengah, dan merantau ke ibu kota negara RI ini. Aku tinggal bersama abang tertuaku yang baru menikah dan ia membiayaiku. Sebagai anak "ingusan" yang berasal dari daerah, tentu saja ada sedikit perasaan minder saat bergaul dengan teman-teman sekolah minggu itu. Bayangkan, bergaul dengan anak-anak Jakarta, yang tinggal di Kebayoran Baru pula -- bagian kota Jakarta yang dihuni oleh sebagian besar orang-orang kaya. Sekalipun rumah abangku terletak di jalan Panglima Polim, itu hanyalah sebuah paviliun yang dikontrak. Nah, pada Natal tahun 1970 itu, gereja mendapat kado istimewa dari TVRI -- satu-satunya siaran televisi waktu itu, dan masih berlayar hitam putih -- berupa undangan bagi sekolah minggu untuk mengisi acara Natal di TVRI. Wah ..., betapa senangnya kami. Apalagi aku, orang kampung ini, baru setahun di Jakarta, sudah berkesempatan masuk televisi, dan siaran langsung pula! "Wah ... wah ..., terkenallah nanti awak ini," demikian gumamku dalam hati. Maka, kami sibuk latihan drama Natal secara intensif. Aku mendapat peran sebagai salah satu dari orang majus yang datang memberikan persembahan untuk Bayi Yesus. Kami berlatih di gereja. Dari sore sampai malam. Sepulang latihan, teman-temanku banyak yang dijemput oleh orang tuanya dengan mobil, sementara aku pulang berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja hanya sekitar 10 menit. Bagiku, latihan-latihan itu cukup menguras tenaga. Sekalipun aku masih duduk di kelas 3 SD, sejak pagi tenagaku sudah cukup terkuras. Aku harus mengepel dan membersihkan rumah, menyetrika, juga berbelanja ke pasar, yang jaraknya sekitar 20 menit dari rumah (pasar ini dekat sekolahku). Kemudian memasak nasi dan sayur, bergantian dengan abangku yang satunya. Setelah semua selesai, baru pergi ke sekolah. Ada tugas tambahan mengasuh anak pertama abang tertuaku. Dan, yang tidak boleh tertinggal ialah mengerjakan PR! Dalam suasana seperti inilah aku "menikmati" sekolah minggu dan persiapan tampil di TVRI itu untuk bermain drama Natal. Hari untuk pentas di TVRI sudah semakin dekat. Kami semakin bedebar-debar. Segala persiapan teknis terus dilakukan, terutama kostum. Aku dan teman-teman yang berperan sebagai orang majus pun mulai sibuk. Kami diberi pengarahan mengenai kostum orang majus itu untuk diberitahukan kepada orang tua masing-masing. Ya, pada prinsipnva kostumnya seperti yang biasa dipakai para pemain drama Natal di mana pun. Berbentuk jubah! Aku pun memberitahukan hal ini kepada kakak iparku (karena dialah pengganti Ibu selama ini). Aku mengatakan bahwa perlu menjahit jubah dari bahan kain panjang. Dan, harus segera dibuat karena waktu pentas di TVRI semakin dekat. Hmm ..., aku membayangkan apa yang kuminta itu tentu tidak akan bermasalah. Namun ternyata, kostum orang majus yang akan kupakai nanti tidak berbentuk jubah, tetapi kimono yang akan dipinjamkan dari Tante -- kakak dari kakak iparku! Duhhh ..., betapa terkejutnya aku, betapa sedih hatiku, betapa malunya aku terhadap dua orang temanku yang memerankan orang majus dalam drama itu. Wah ..., bagaimana, nih? Selayaknya anak kecil, tentu saja kucoba lagi meminta kepada kakak iparku untuk menyediakan jubah, namun tetap saja kimono yang akan disediakan karena untuk menghemat biaya! Yah, aku pun tak berkutik. Dengan sedikit malu dan juga sedih, aku berusaha tampil sebaik mungkin dalam drama Natal di TVRI. Syukurlah, waktu itu, warna televisi masih hitam putih. Karena kalau tidak, warna merah menyala kimono milik Tante itu dapat menyilaukan mata pemirsa! Ya, begitulah ... dalam sorotan lampu yang terang di studio TVRI, dalam acara "live" drama Natal anak-anak Sekolah Minggu GKI Kebayoran Baru, orang majus memberikan persembahan untuk Bayi Yesus di palungan. Kalau diperhatikan, salah satu dari orang Majus yang mempersembahkan mur itu mengenakan jubah yang berbeda, he he he. Semoga waktu itu, pemirsa tidak berkata, "Ada orang Jepang kesasar di Bethlehem!" Dan bersyukur pula, orang majus yang berkimono itu tak langsung tidur malam di studio TVRI usai bermain drama! Ia masih ingat pulang ke rumah! Apakah aku "ditakdirkan" untuk berperan sebagai orang majus di acara drama Natal? Wah, mana kutahu, bah! Sebagai pengikut Kristus, tentu aku tidak boleh percaya pada "takdir-takdiran". Namun, ternyata pada saat duduk di bangku kuliah di kampus Rawamangun, sesuatu terulang lagi dalam kehidupanku. Kala itu aku sudah pindah rumah ke daerah di dekat Menteng, Jakarta Pusat (mengikuti keluarga abang tertuaku). SMA-ku pun berlokasi di dekat stasiun kereta api Gambir. Oleh sebab itu, aku bergereja di GKI Kwitang, Jakarta Pusat. Di gereja inilah aku aktif di persekutuan pemuda-remaja. Dan, di gereja ini juga, aku memperoleh baptis sidi yang dilayani oleh Pdt. Sam Gosana. Suatu saat, saudaraku, guru sekolah minggu di gereja itu, mengajakku ikut bergabung dalam drama Natal yang akan dipentaskan di gedung pertemuan Granada Semanggi (kami suka menyebutnya gedung Piring Terbang). Memang, waktu itu GKI Kwitang memusatkan perayaan Natal di gedung besar itu untuk menghindari perayaan Natal yang harus dilakukan berkali-kali karena gedung gereja tidak sanggup menampung jumlah jemaat yang ada. Dan, aku mau menerima tawaran itu, karena memang drama Natal ini terbuka untuk seluruh jemaat. Nah, saat dilakukan "casting" ... aku terpilih lagi sebagai salah satu dari orang majus itu! Yah ..., kunikmati sajalah! Mulailah kami berlatih. Sutradara drama Natal ini adalah Bapak Montolalu. Beliau sangat demokratis dan sangat memerhatikan talenta orang-orang yang dilatihnya. Bahkan, "setting" drama Natal ini pun tidak bernuansa Timur Tengah, tetapi bernuansa orang-orang desa di Indonesia. Ini satu pengalaman manis untukku saat mengikuti drama Natal tersebut. Waktu itu, aku bisa memainkan beberapa alat musik sebagai "bakat alam", tidak sampai mahir betul. Salah satunya memainkan harmonika. Aku mengusulkan kepada saudaraku, guru sekolah minggu itu, untuk memakai musik-musik agar drama Natal tersebut lebih menarik. Usulanku disampaikannya pada Bapak Montolalu. Setelah diuji waktu latihan, akhirnya aku ditunjuk menjadi penanggung jawab musik drama Natal itu. Dan, semua pemain pun memberi dukungan, maka dengan senang hati aku melakukan tugas tambahan tersebut. Aku sibuk mencari musik di kaset-kaset, sampai merekam permainan musik harmonikaku di rumah seorang jemaat. Semua kujalani dengan "enteng" karena memang hobi. Kemasan drama Natal ini memang lain dari biasanya. Selain menggunakan kostum pedesaan, juga turut serta seekor burung kakaktua sebagai pelengkap. Nah, bagaimana dengan kostum orang-orang majus? Kali ini kostum utamanya berupa kain sarung yang digantung di pundak, memakai celana panjang petani, dan berkaus oblong! Persembahan yang dibawa untuk Bayi Yesus pun bukan emas, kemenyan, dan mur, melainkan berupa hasil ladang! Pokoknya, semua pemain tampil dengan kostum warna-warni khas orang pedesaan. Kecuali Raja Herodes dan timnya, tampil dengan kostum lebih semarak. Tiba saatnya kami "manggung" di gedung Granada kebanggaan orang Jakarta ini. Jemaat yang hadir dalam perayaan Natal tersebut hampir memenuhi semua bangku yang ada. Kami yang berada di "floor" bersiap tampil di pangung. Pembawa acara pun memberi tanda bahwa drama Natal dimulai! Satu per satu pemain pun bergaya di pangung. Sampai kemudian, orang majus pun mendapat giliran memberikan persembahan kepada Bayi Yesus. Ketika giliranku, inilah kata-kata yang terucap dengan tenang dan polos: "Oh, Mesias ... terimalah persembahanku ini, yang hanya berupa sayur-mayur, ubi, dan singkong!" (Dan ..., gerrrrrrrr ... aku mendengar jemaat tertawa!) Hmm ..., sungguh drama tersebut sangat berkesan bagiku, sampai sekarang terus teringat. Perayaan Natal yang kita nikmati dan kita lakoni masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan, drama Natal dari tahun ke tahun tetap sama, dan kita masih senang menontonnya. Apakah hal ini karena hanya ditampilkan setahun sekali? Ataukah memang ada sisi melankolik yang menyentuh emosi dan mata rohani kita di penghujung tahun? Sebuah sentuhan perenungan hidup setelah hampir 12 bulan bekerja keras mempertahankan dan mengembangkan kehidupan kita pribadi maupun keluarga kita? Tentu, setiap orang akan memiliki pandangannya masing-masing. Bagiku, perayaan Natal yang kualami saat kelas 3 SD itu telah menghadirkan sesuatu yang sangat berkesan dan sangat dalam. Jelas, sebagai orang udik yang baru mengecap atmosfer kota Jakarta, keikutsertaanku dalam drama Natal di sekolah minggu itu merupakan lompatan budaya sekaligus sebagai lompatan kehidupan rohani. Tak sedikit "peperangan batin" kualami manakala mulai beradaptasi dalam pergaulan dengan teman-teman di sekolah minggu, sampai akhirnya puncaknya adalah kerja sama dalam bermain drama Natal di TVRI! Tentu saja aku sangat berterima kasih pada abang tertuaku dan istrinya. Mereka telah menunjukkan tanggung jawabnya pada seorang "anak" dan juga pada Tuhan. Mereka tidak ingin aku -- yang dipercayakan kepada mereka -- menjadi orang yang "semau gue", boros, manja, dan tidak takut akan Tuhan! Hmm ..., tentu pada waktu itu -- sebagai anak kecil -- aku masih ingat saat di mana aku menangis meraung-raung karena dimarahi. Aku menangis meraung-raung di lantai sampai masuk ke kolong sofa panjang di ruang tamu. Aku memanggil-manggil Ibu! Yah, itu telah menjadi secuil bagian sejarah hidupku. Drama Natal tersebut juga telah menjadi sebuah batu loncatan, yang mungkin tidak kusadari. Dan, aku telah melihat dampaknya saat ini. Tuhan telah meletakkan bakat seni dalam diriku (kami sekeluarga senang bernyanyi dan bermain musik). Dan, bakat seni itu terus berkembang sampai sekarang. Siapa yang menyangka, ketika aku aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, salah satu bakatku yang tersalurkan adalah membuat naskah-naskah drama Natal dan Paskah, sekaligus menyutradarainya? Bahkan, drama Natal yang kubuat di akhir perkuliahanku dipesan untuk manggung di perayaan Natal sebuah gereja di aula Kelapa Gading Sport Club. Juga, pada saat aku merangkap profesi sebagai guru dan penyiar radio, di SMA tempat aku mengajar, dengan senang hati aku membuatkan naskah drama Natal sekaligus menyutradarainya. Puji Tuhan, naskah-naskah ini pun diizinkan Tuhan untuk dipentaskan oleh sekolah lain dan gereja tertentu. Peran sebagai salah "seorang" dari orang majus yang memberi persembahan kepada Bayi Yesus, telah memberi pesan khusus kepadaku. Dua kali aku melakoni peran itu. Dan, persembahan yang diberikan pun berbeda. Bagiku, hal ini bermakna ketulusan hati dalam memberi persembahan kepada Tuhan, apa pun bentuknya. Ketika ketulusan melingkupi hati kita, sejauh apa pun jaraknya, tetap kita tempuh. Seberat apa pun tantangan yang menghadang, tetap kita hadapi dan singkirkan, demi memberikan persembahan kepada Pribadi yang kita kasihi, kita hormati, dan kita agungkan! Orang-orang majus itu datang dari Timur ke Yerusalem. Kemudian bintang yang mereka lihat di Timur itu menuntun mereka menuju tempat Sang Bayi dilahirkan, di Bethlehem. Maka, masuklah mereka ke rumah itu, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan menyerahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan, dan mur. Orang-orang majus telah membuktikan kasih mereka kepada-Nya. Akankah kita selalu ingat bukan sekadar pada orang-orang majus itu? Ada kasih yang melebihi kasih orang-orang majus itu! Dalam sebuah peran lain ketika bermain drama Natal, juga saat aku masih di sekolah minggu -- kami berlima tampil ke depan panggung. Di leher kami tergantung tali yang mengikat kertas besar terjurai sampai perut. Kertas itu terbalik, padahal berisi sebuah huruf. Aku, sebagai orang pertama, membalikkan kertas itu, maka muncullah huruf "K". Dan selanjutnya, keempat temanku pun membalikkan kertasnya sehingga berurutanlah huruf itu menjadi: K-A-S-I-H. Yang paling kuingat adalah huruf "K" milikku itu. Aku pun meneriakkannya dengan suara nyaring agar didengar seluruh hadirin: "K ... `Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal`" (Yohanes 3:16). Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: My Favourite Christmas Penulis: Tim Penulis GCM Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006 Halaman: 93 -- 104 ______________________________________________________________________ o/ WARNET PENA o/ NUANSA NATAL DALAM SABDA SPACE http://www.sabdaspace.org/kategori/natal/ http://www.sabdaspace.org/kategori/renungan_natal/ Berbagai cara dapat dilakukan untuk merayakan maupun memaknai Natal. Beberapa blogger Kristen sepakat untuk menuliskan hal-hal seputar Natal dari kacamata mereka melalui komunitas blogger kristiani, SABDA Space. Berbagai renungan, refleksi, kesaksian, maupun ide-ide seputar Natal dituangkan dalam komunitas ini. Apakah Anda ingin berbagian juga bersama dengan mereka? Silakan kunjungi URL di atas. Berikut beberapa tulisan seputar Natal yang dapat Anda jumpai dalam SABDA Space. 1. Christmas Wish (Purnawan Kristanto) http://www.sabdaspace.org/christmas_wish/ 2. Tangisan Yesus di Hari Natal (ayubw) http://www.sabdaspace.org/tangisan_yesus_di_hari_natal/ 3. Natal Pertama (hai hai) http://www.sabdaspace.org/natal_pertama_0/ Selamat berkunjung. Oleh: Davida (Redaksi) ______________________________________________________________________ o/ MUTIARA GURU o/ Natal bukanlah sekadar suatu hari, suatu peristiwa yang dirayakan dan kemudian dengan segera dilupakan. Natal adalah semangat yang semestinya mewarnai setiap bagian kehidupan kita. - William Parks - ______________________________________________________________________ Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan ke redaksi: <binaanak(at)sabda.org> atau <owner-i-kan-binaanak(at)hub.xc.org> ______________________________________________________________________ Pemimpin Redaksi: Davida Welni Dana Staf Redaksi: Kristina Dwi Lestari dan Christiana Ratri Yuliani Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA Didistribusikan melalui sistem network I-KAN Copyright(c) e-BinaAnak 2008 -- YLSA http://www.ylsa.org/ ~~ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ______________________________________________________________________ Anda terdaftar dengan alamat email: $subst(`Recip.EmailAddr`) Alamat berlangganan: <subscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org> Alamat berhenti: <unsubscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org> Arsip e-BinaAnak: http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/ Pusat Elektronik Pelayanan Anak Kristen: http://pepak.sabda.org/ Bergabunglah dalam Network Anak di Situs In-Christ.Net: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_anak ______________PUBLIKASI ELEKTRONIK UNTUK PEMBINAAN GURU_______________
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |