Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/145 |
|
e-Wanita edisi 145 (15-10-2015)
|
|
______________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen______________ TOPIK: Penerimaan Anak dalam Keluarga Edisi 145/Oktober 2015 e-Wanita -- Penerimaan Anak dalam Keluarga Edisi 145/Oktober 2015 Salam kasih dalam Kristus, Penerimaan anak adalah sesuatu yang sangat vital dalam pola pengasuhan dari orangtua. Berawal dari sanalah, pembentukan karakter dan pribadi anak berlangsung, termasuk dalam penentuan konsep dirinya sebagai pribadi dewasa kelak. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka edisi e- Wanita pada bulan Oktober ini akan membahas mengenai penerimaan anak dalam keluarga melalui dua artikel yang kami sajikan. Selamat membaca bagi sahabat e-Wanita semua, kiranya Anda diberkati melalui publikasi kami. Pemimpin Redaksi e-Wanita, N. Risanti < okti(at)in-christ.net > < http://wanita.sabda.org/ > WAWASAN WANITA: PENERIMAAN ANAK DALAM KELUARGA Ditulis oleh: N. Risanti "Jika anak-anak hidup dengan penerimaan, mereka akan belajar untuk mencintai. Jika anak-anak hidup dengan dukungan, mereka akan belajar untuk menyukai dirinya sendiri." - Dorothy Law Nolte Kutipan di atas adalah bagian dari puisi berjudul "Children Learn What They Live", yang ditulis oleh Alm. Dorothy Law Nolte, seorang penulis dan konselor keluarga di Amerika. Puisi yang sangat menginspirasi banyak orangtua di seluruh dunia tersebut menyampaikan pesan yang jelas kepada kita sebagai orangtua: pola asuh orangtua akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter anak. Anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang mampu menghargai dirinya dan orang lain serta mengembangkan segenap potensi dirinya, jika mereka, pertama-tama, mendapat penerimaan dan dukungan yang positif dari orangtua dan anggota keluarga. Tanpa penerimaan dan dukungan dari keluarga, terutama orangtua, seorang anak akan sulit untuk mengembangkan rasa percaya diri serta konsep diri yang positif. Dalam buku "Membesarkan Anak Dengan Kreatif", karya B.S. Sidjabat, dikatakan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang mesti dipikirkan, diperhatikan, dan dipenuhi oleh orangtuanya. Kebutuhan tersebut adalah kasih, rasa percaya diri, harga diri, aktivitas yang membangun, dan rasa aman. Semua kebutuhan tersebut akan nyata dirasakan oleh anak dalam bentuk penerimaan dan dukungan dari orangtua, bahkan semenjak anak masih berada di dalam kandungan. Meskipun kasih Allah adalah hal yang paling penting dalam kehidupan seseorang, tetapi dari orangtualah anak pertama-tama akan merasakan bentuk dan ungkapan dari kasih tersebut. Jika orangtua mampu menyatakan kasihnya dalam ungkapan yang benar, anak-anak tidak akan sulit pula dalam memahami dan menerima kasih Allah di kemudian hari. Sebelumnya telah disebutkan bahwa penerimaan terhadap anak bahkan perlu dilakukan semenjak anak masih berada di dalam kandungan. Sayangnya, banyak pemahaman yang salah dalam budaya kita yang menganggap bahwa kehidupan bayi dalam kandungan belumlah penting karena ia belum dilahirkan dan belum berwujud dalam rupa pribadi yang nyata. Sementara, dalam Mazmur 139:15-16 dinyatakan bahwa Allah telah mengenal kita semenjak kita menjadi bakal anak (dalam versi NASB dan KJV disebutkan sebagai "formless" dan "unformed", atau belum berbentuk - Red.) dan mengetahui hari-hari yang akan kita jalani. Hal itu menunjukkan bahwa Allah menganggap setiap pribadi adalah berharga, dan telah memiliki rencana terhadap hidup mereka semenjak mereka belum berbentuk di dalam kandungan. Apa yang terjadi pada anak yang tidak mendapat penerimaan yang dibutuhkannya? Anak yang tidak menerima dukungan dan penerimaan dari orangtua maupun lingkungannya pada masa pertumbuhan dan perkembangan akan mengembangkan konsep diri yang negatif. Konsep diri negatif adalah pemikiran yang memandang diri sendiri dengan cara yang negatif, yaitu: "saya tidak menarik", "saya terlalu gemuk", "saya terlalu kurus", "saya terlalu bodoh", atau bahkan "saya terlalu pintar", "saya terlalu tinggi", "saya terlalu rajin". Anak-anak yang bertumbuh dengan konsep diri negatif akan mengalami berbagai hambatan dalam hidup dan relasinya, sebab konsep dirilah yang menentukan bagaimana seseorang bereaksi atau menanggapi dunia di luar dirinya, serta sejauh mana ia puas dengan hidupnya. Seseorang yang merasa tertolak atau tidak mendapat cukup penerimaan dan dukungan akan menafsirkan segala sesuatu sebagai penolakan terhadap diri mereka, bahkan dari tatapan mata maupun sikap yang tidak penting dari orang lain. Mereka akan mengembangkan sifat sensitif yang berlebihan serta terlalu fokus pada diri sendiri. Hal-hal tersebut akan menjadi penyebab kurang terampilnya mereka dalam mengelola relasi dengan yang lain, yang tampak dalam sikap kurang pandai bergaul, suka menarik diri, dan sukar untuk bersikap ramah kepada yang lain. Tak jarang, sikap suka merendahkan atau egois mereka perlihatkan guna menjadi benteng pertahanan atau cara menghindar dari perasaan tertolak. Selain mengalami luka-luka batin (kepahitan) serta menjadi pribadi yang bermasalah ketika dewasa, anak-anak yang memiliki perasaan tertolak akan sulit untuk mengembangkan potensi dirinya, mencapai prestasi, serta memiliki kepuasan dalam hidup. Bagaimana orangtua dapat menerima anak-anak sebagaimana adanya mereka? Pertama-tama, sadarilah bahwa Allah begitu mengasihi kita dengan tanpa syarat, seperti yang dinyatakan dalam Roma 5:8, "... oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Allah, yang Mahakuasa dan Mahasempurna, pencipta semesta alam, mengasihi kita. Ia mengasihi kita bukan di saat ketika kita telah bertobat, menjadi orang baik-baik, dan melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Tidak, Ia mengasihi kita ketika kita masih berdosa, belum mengenal-Nya, bahkan jika kita sampai saat ini masih sering kali mendukakan hati-Nya. Tidak sampai di situ, Ia juga mengirimkan putera-Nya ke dalam dunia untuk menderita dan mati disalibkan sebagai tebusan atas dosa-dosa yang kita lakukan sehingga kita dapat diselamatkan. Menyadari kenyataan tersebut, tidakkah seharusnya kita juga meneladani Allah yang telah mengasihi kita dengan tanpa syarat? Paulus yang telah sungguh-sungguh merasakan betapa besar anugerah yang ia peroleh dari Kristus berkata, "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." Seperti juga Paulus, hendaknya kita hidup di dalam Kristus dengan menunjukkan cinta kasih yang tulus dan tanpa syarat kepada anak-anak yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita. Kedua, Allah melalui Kristus, sesungguhnya sudah memberikan landasan yang kuat bagi manusia untuk membangun konsep dirinya. Alkitab dengan jelas menyatakan hal tersebut dalam Markus 1:11: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan". Melalui pernyataan tersebut, Allah hendak memenuhi tiga kebutuhan manusia yang terdalam untuk membentuk konsep dirinya, yaitu: identitas diri ("Inilah anak-Ku"), perasaan aman ("yang Kukasihi"), dan merasa berharga ("kepada-Nyalah aku berkenan"). Ketika seseorang dapat merasakan bahwa dirinya diterima dan diakui sebagai anak oleh Allah, maka ia dapat memiliki konsep diri yang positif sebagai seorang pribadi. Konsep dirinya tidak lagi tergantung pada apa yang dikatakan oleh dunia, tetapi oleh jaminan kasih Allah yang tulus, yang sekaligus juga akan memampukannya untuk menjalani hidup sesuai dengan panggilan Allah. Ketiga, Alkitab penuh dengan kisah kasih Allah terhadap umat-Nya di sepanjang sejarah, mulai dari kitab Perjanjian Lama hingga kitab Perjanjian Baru. Meskipun di dalam kitab Perjanjian Lama sering kali Allah digambarkan murka terhadap umat-Nya, tetapi Ia tidak pernah meninggalkan umat-Nya dan membiarkan mereka sendiri. Bahkan, murka dan hajaran dari Allah merupakan bentuk kasih dan didikan kepada anak- anak-Nya seperti yang dinyatakan dalam Ibrani 12:6 dan Amsal 13:24. Jika kita tidak pernah mendapat disiplin dari Allah, kita akan menjadi anak-anak gampang (Ibrani 12:28), yang tidak akan pernah belajar untuk bertumbuh dan memiliki karakter yang diinginkan Allah. Karena itu, jika anak-anak melakukan kesalahan, kita pun perlu melakukan tindakan untuk mendisiplin mereka. Namun, tentu saja cara-cara untuk mendisiplin anak harus disesuaikan dengan usia dan pemahaman dari masing-masing anak. Mendisiplin anak juga harus jauh dari unsur kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Anak-anak harus menyadari bahwa ketika orangtua menegur atau mendisiplin mereka, itu merupakan salah satu bentuk kepedulian dan kasih orangtua agar anak-anak belajar menghargai otoritas, bertanggung jawab, dan mampu membuat keputusan secara benar. Jika kita melakukannya dengan dorongan dan sikap yang benar, anak-anak dengan sendirinya akan mampu menangkap "pesan" tersebut dan tidak akan menganggap orangtua sebagai pribadi yang kejam atau tidak mengasihi dan mendukung mereka. Efesus 6:4 menjadi panduan terbaik bagi para orangtua untuk melakukan disiplin yang penuh kasih kepada anak-anak, yaitu berdasarkan ajaran dan nasihat dari Tuhan sendiri. Lalu, apa yang dapat dilakukan orangtua untuk mengekspresikan penerimaan dan dukungan terhadap anak? Kasihilah anak-anak sebagaimana adanya mereka. Jangan menuntut mereka untuk menjadi seperti yang orangtua inginkan, atau dalam standar- standar yang kita miliki. Dorong mereka untuk melakukan apa yang mereka sukai, untuk mencapai kepenuhan potensi mereka. Berikan kesempatan kepada mereka untuk membuat dan menentukan berbagai keputusan dari diri mereka sendiri, untuk kemudian bertanggung jawab atas keputusan yang mereka pilih. Fasilitasi mereka untuk selalu berkesempatan memberi pendapat, bertanya, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di rumah, bahkan membuat aturan-aturan yang harus disepakati oleh setiap anggota keluarga. Milikilah waktu yang berkualitas bersama mereka, untuk bertumbuh dan belajar bersama mereka. Ketika mereka gagal, pastikan bahwa kita tetap mengasihi dan mendukung mereka, bahwa kegagalan merupakan pelajaran dan proses alami yang harus mereka miliki. Di atas semua itu, sertakanlah Allah selalu di dalam pengasuhan anak-anak kita. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap orang, kita akan senantiasa membutuhkan anugerah dan belas kasih-Nya untuk menuntun kita dalam mendidik dan membesarkan anak-anak. Sumber bacaan: 1. Sidjabat, B.S. 2008. "Membesarkan Anak dengan Kreatif". Penerbit ANDI, Yogyakarta. 2. Gunadi, Paul. 2011. "Konsep Diri". Dalam http://c3i.sabda.org/konsep_diri 3. Omartian, Stormie. "Parental Love and Acceptance". Dalam http://www.familylife.com/articles/topics/parenting/foundations/spiritual-development/parental-love-and-acceptance 4. Harefa, Andrias. 2015. "Revolusi Hati: Menjadi Manusia Bintang Lima". Dalam http://www.slideshare.net/sabda/revolusi-hati-2015sabdabintang-5 5. Leman, Kevin. 1984. "Making Children Mind Without Losing Yours". Flemming H. Revell, Grand Rapids. DUNIA WANITA: PERSPEKTIF PSIKOLOGIS: IBU DAN ANAK PEREMPUAN Firman Tuhan memerintahkan suami untuk mengasihi istrinya (Efesus 5:33). Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, kita dapat menyimpulkan bahwa dikasihi merupakan kebutuhan wanita yang pokok (sama seperti kebutuhan dihormati bagi para pria). Terpenuhinya kebutuhan ini, sedikit banyak menjamin kehidupan suami istri yang harmonis. Namun, saya pun melihat bahwa kebutuhan untuk dikasihi tidak berlaku untuk relasi pernikahan saja. Pemenuhan kebutuhan ini juga berpengaruh besar pada pertumbuhan anak perempuan menjadi wanita dewasa, dan ternyata peranan ibu dalam proses ini tidaklah dapat disepelekan. Dikasihi oleh ibu merupakan dasar terbentuknya penghargaan diri yang kuat dalam proses pembentukan diri anak perempuan. Dikasihi oleh ibu membuatnya melihat dan menerima bahwa dirinya berharga, dan inilah bekal yang akan dibawanya ke kancah pergaulan, baik dengan sesama wanita maupun dengan pria. Kasih sayang ibu akan menjadi modal baginya untuk mengemban peran sebagai pengasuh atau pemberi kasih -- peran yang dikaitkan dengan kodrat kewanitaan. Sebaliknya, kurang dikasihi membuatnya gamang dalam berelasi dengan sesama wanita dan juga pria. Pada sebagian kasus, masalah ini bisa berkembang sedemikian rupa sehingga ia cenderung memandang sesama wanita sebagai pesaingnya, bukan sesamanya saja. Dalam relasi dengan pria, ia memiliki kebutuhan yang besar untuk diperhatikan walaupun dalam tindakannya ia justru menunjukkan kebalikannya -- bahwa ia tidak memerlukan perhatian dari pria. Tanpa kasih sayang ibu, anak perempuan akan bertumbuh dalam kekosongan dan menganggap diri tidak berharga. Kondisi inilah yang akan mendorongnya untuk mendapatkan pemenuhan ini dari sumber lain. Akibatnya, ia akan mencari-cari tempat dalam hidup di mana ia bisa menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang bernilai. Tidak jarang, ia pun akan memikul konflik batiniah: Di satu pihak, ia membutuhkan kasih. Oleh karena itu, ia akan senantiasa mencari-cari kasih, tetapi di pihak lain, ia justru ingin memperlihatkan bahwa ia bernilai dan tidak memerlukan kasih. Berangkat dari konflik ini akan ada yang bertumbuh menjadi sosok yang menantikan cinta dan mendambakan orang untuk bisa membuatnya merasa diri berharga. Namun, ada pula yang akan bertumbuh menjadi wanita yang menekankan kemandirian dan membenci kelemahan, dalam hal ini, sifat kewanitaan itu sendiri. Pada masa kecil, anak tahu bahwa ia dikasihi dari sikap, perkataan, dan sentuhan yang diterimanya dari orangtua. Masalahnya, tidak semua ibu dapat menerima anak perempuannya -- tanpa syarat. Sebagian ibu mengharapkan anak laki-laki, baik itu demi keinginannya sendiri ataupun karena harapan pasangannya atau sanak saudara lainnya. Saya teringat kisah seorang perawat di ruang bersalin yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang ibu tega untuk memalingkan mukanya tatkala diberi tahu bahwa anak yang baru saja lahir dari rahimnya adalah seorang bayi perempuan. Sudah tentu di sini berlaku satu prinsip universal: Jika kita tidak bisa menerima diri sendiri, kita pun akan mengalami kesukaran menerima diri orang apa adanya. Jadi, dapat kita simpulkan bilamana ibu tidak menerima kodrat kewanitaannya sendiri secara positif, dapat kita duga ia pun kelak akan bersikap kritis terhadap kodrat kewanitaan anaknya sendiri. Anak perempuan perlu mengetahui dengan pasti bahwa ibu menerimanya apa adanya sebagai anak perempuan, sebab keyakinan inilah yang kelak akan membangun dirinya sebagai seorang wanita. Apa yang menyebabkan sebagian ibu tidak dapat menerima anak perempuannya? Pembentukan dan perkembangan diri tidak bisa dilepaskan dari budaya yang mengelilingi kita. Pada sebagian besar budaya, kedudukan wanita tidak setara dengan pria dan ketidaksetaraan dengan mudah menciptakan penindasan serta ketidakadilan. Saya menemukan dalam praktik konseling saya, kasus penyelewengan suami jauh melampaui kasus penyelewengan istri, dan pada sebagian besar kasus, para istri terpaksa menerima kondisi yang tidak menguntungkan ini tanpa daya. Ketimpangan sosial seperti ini berpotensi menciptakan rasa tidak puas terhadap kodrat kewanitaan dan ibu yang kebetulan mengalami kemalangan akibat perbedaan gender dapat dengan mudah dan tanpa sadar mengomunikasikan ketidakpuasannya kepada anak perempuannya. Alhasil, anak ini pun mulai mengembangkan sikap penolakan terhadap kodrat kewanitaannya, termasuk di dalamnya penolakan terhadap peran pengasuh dan pemberi kasih. Gangguan pada jalinan kasih antara ibu dan anak perempuan berpotensi menimbulkan gangguan pada pembentukan diri wanita, baik sebagai penerima maupun pemberi kasih. Kerusakan pada relasi ibu dan anak perempuannya bisa berdampak panjang dan luas. Itulah sebabnya, Tuhan menitipkan perempuan muda kepada perempuan yang lebih tua agar mereka dapat "mendidik perempuan-perempuan muda (untuk) mengasihi ..." (Titus 2:3-4). Dan, cara paling efektif mendidik orang untuk mengasihi adalah melimpahinya dengan kasih dan kasih harus disampaikan secara langsung, tidak bisa didelegasikan kepada pengasuh yang lain. Diambil dan disunting dari: Nama situs: Christian Counseling Center Indonesia Alamat URL: http://c3i.sabda.org/perspektif_psikologis_ibu_dan_anak_perempuan Judul Artikel: Perspektif Psikologis: Ibu dan Anak Perempuan Penulis artikel: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. Tanggal akses: 16 Juni 2015 Kontak: wanita(at)sabda.org Redaksi: N. Risanti dan Mei Berlangganan: subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-wanita/arsip BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |