Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/153

e-Wanita edisi 153 (16-6-2016)

Membangun Karakter Anak

e-Wanita -- Edisi 153/Juni 2016
 

Membangun Karakter Anak
e-Wanita -- Edisi 153/Juni 2016

e-Wanita

Salam dalam kasih Kristus,

Menjadi seorang ibu merupakan anugerah. Tuhan menganugerahkan anak-anak yang harus kita didik, ajar, dan besarkan seturut dengan apa yang Tuhan kehendaki. Ibu adalah seorang guru bagi anak-anak. Ketika anak-anak belum mengenyam pendidikan formal di sekolah, ibulah yang menjadi guru dan mengajarkan anak-anak cara berhitung, cara berteman, dan mengenalkan anak kepada Tuhan. Para ibu dan wanita Kristen adalah seorang tokoh yang membentuk karakter anak-anak kita. Oleh karena itu, sebagai wanita-wanita Kristen kepunyaan Tuhan, marilah kita mengajar anak untuk mencintai Tuhan dan firman-Nya setiap hari. Ajar anak-anak kita untuk meneladani Kristus sehingga saat anak kita tumbuh nanti, karakter Kristuslah yang akan terpancar dalam hidupnya. Selamat menikmati sajian publikasi e-Wanita kali ini, dan biarlah hati kita tergerak untuk mendidik dan mengajar anak-anak seturut dengan Kristus. Tuhan beserta kita!

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Wanita,
Amidya

 

WAWASAN WANITA
Mengajarkan Karakter kepada Anak-Anak

Apakah Anda ingin anak-anak Anda bertumbuh menjadi laki-laki dan perempuan muda yang integritasnya membuat mereka bersinar seperti bintang? Apakah Anda ingin anak-anak Anda memiliki karakter hebat, tetapi Anda tidak tahu bagaimana menolong mereka menjadi semua yang Anda (dan juga Tuhan) inginkan?

Ingat, mata-mata kecil itu sedang mengawasi, jadi tunjukkan dengan contoh.

Pendidikan Karakter

Ketika saya menjadi seorang guru SD, saya ingin siswa kelas 2 saya memahami hubungan antara perilaku buruk dan konsekuensi. Jadi, daripada memberi tahu mereka, "Jika kalian berperilaku buruk, akan ada konsekuensi" (yang mungkin pernah mereka dengar satu juta kali), saya pikir saya akan menceritakan sebuah cerita yang cerdik. Jadi, saya menggunakan sedikit analogi tentang menanam benih. "Jika kalian menanam benih yang buruk, kalian akan mendapatkan rumput liar. Jika kalian menanam benih yang baik, kalian akan mendapatkan hasil panen yang baik." Lalu, saya mengatakan bahwa itu sama dengan melakukan hal yang salah -- itu seperti menanam benih yang buruk yang akan menghasilkan rumput liar jahat dalam kehidupan kita.

Saya tidak tahu apakah mereka mengerti apa yang saya katakan sampai minggu depannya.

Saat saya melaju di jalan dalam perjalanan ke sekolah hari Senin berikutnya, saya bergumul dalam hati. Ya, saya tahu batas kecepatan di sini, tetapi saya terlambat, dan jika saya tidak cepat-cepat, saya tidak akan sampai ke sekolah tepat waktu. Saya berharap tidak akan ada yang melihat ketika saya tancap gas.

Whooooo! Whoooooo! Whooooo! Terang lampu mobil polisi memantul di kaca spion. Otot perut saya menegang. Ah, sialan! Sekarang, saya akan mendapatkan tiket tilang dan saya benar-benar akan terlambat! Setelah beberapa saat, saya melaju pergi dengan slip merah muda kecil yang mengundang saya ke gedung pengadilan.

Betapa memalukan! Saya pikir. Saya berharap tidak ada yang melihat.

Sore itu, ketika murid-murid seni kelas 2 saya masuk ke dalam kelas, tidak ada keraguan bahwa mereka memahami hubungan antara menanam benih buruk dan konsekuensi -- dan bahwa mereka telah melihat saya ditilang. "Nona Schutte menanam benih buruk! Nona Schutte menanam benih buruk!" teriak mereka.

Aduh!

Saya langsung teringat bahwa karakter harus dicontohkan dan bahkan jika kita berpikir tidak ada yang memperhatikan ketika kita ngebut, curang dengan pajak kita, berbohong kepada seseorang di telepon, membatalkan janji ketika kita tidak seharusnya melakukannya, mengaku sakit saat kita sebenarnya tidak, seseorang biasanya memperhatikan -- dan "orang-orang" tersebut sering kali adalah anak-anak kecil dalam hidup kita.

Dalam buku mereka, "How to Raise Totally Awesome Kids" [Cara Membesarkan Anak-Anak yang Benar-Benar Mengagumkan - Red.], Dr. Chuck Borsellino dan istrinya Jenni menulis, "Ajarkan dengan memberikan contoh. Contohkan apa yang Anda inginkan. Bagi anak-anak kita, untuk mengembangkan karakter dan integritas, mereka pertama kali harus melihat integritas karakter kita."

Periksa keyakinan Anda karena mereka menentukan perilaku Anda.

Ketika saya berusia tujuh tahun, kakak perempuan saya dan saya mendengar bahwa sirkus akan datang ke kota kecil kami di Idaho, sebelah selatan. Kami tidak sabar menunggu. Ketika hari besar itu tiba, kami berjalan ke lapangan sepak bola SMA setengah mil jauhnya, menemukan tempat duduk yang tinggi di bangku-bangku dan menunggu pertunjukan dimulai. Saya tidak ingat apa-apa tentang sirkus itu, kecuali satu insiden menakutkan.

Di tengah acara itu, para pelatih binatang mengeluarkan gorila jantan besar dalam kandang. Kemudian, salah satu dari orang-orang itu dengan hati-hati membuka kandang untuk membiarkan binatang hitam itu keluar. Saya takjub. Baru saja saya melongok karena terhalang gadis di depan saya untuk melihat apa yang akan dia lakukan, gorila itu melompati pagar kawat dan berlari menaiki bangku-bangku. Anak-anak menjerit dan menyebar ketika gorila itu berlari lurus ke arah saya. Terbelalak dan ketakutan, saya melesat pergi tepat pada waktunya. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan saudari saya dan saya tidak peduli. Saya hanya ingin ibu saya. Saya juga tidak yakin bagaimana saya sampai ke jalan di bawah, tetapi saya ingat berlari secepat yang saya bisa sepanjang perjalanan pulang.

Pada usia tiga puluhan awal, ketakutan di memori saya berubah menjadi tawa geli ketika saya mengingat kembali insiden itu dan menyadari bahwa gorila itu bukanlah gorila sungguhan, itu hanya seorang pria dalam kostum gorila.

Cerita lucu ini mengungkapkan kebenaran yang mendalam: kita akan selalu bertindak berdasarkan apa yang kita percaya. Jika kita percaya kita akan gagal di suatu pekerjaan, kita akan bertindak sesuai dengan itu; jika kita berpikir Allah tidak mengasihi kita, hidup kita akan mencerminkan kebohongan itu; dan jika kita mengira gorila itu sungguhan, kita akan menjerit dan berlari sepanjang perjalanan pulang.

Teladan Orangtua

Jadi, apa hubungannya dengan mencontohkan karakter kepada anak-anak Anda? Jika kita ingin menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita, kita harus memiliki sistem keyakinan yang tepat di dalam sehingga "mencontohkan perilaku luar" kita bisa efektif. Jika tidak, kita hanya akan terus berkata, "Lakukan seperti yang saya katakan, tidak seperti yang saya lakukan," dan tidak ada seorang anak hidup yang akan menghormatinya, atau akan ingin belajar darinya. Ingat, karakter yang baik lebih tertangkap daripada ketika itu diajarkan. Itu berarti, karena Anda menjalani karakter saleh di hadapan anak-anak Anda, mereka secara alami akan mendapatkan lebih daripada jika Anda hanya memberi tahu mereka seperti apa yang seharusnya terlihat.

Berikut adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk membantu Anda menjalani karakter ilahi di depan anak-anak Anda:

  • Tetap dekat dengan Tuhan.
  • Lakukan dukungan dari hati Anda dan motivasi secara teratur.
  • Akuilah dosa-dosa Anda kepada Kristus dan orang lain.
  • Miliki catatan untuk tetap terhubung dengan apa yang memotivasi Anda.
  • Berbicara dengan teman yang bisa dipercaya tentang pergumulan rohani dan emosional Anda.

Anak-anak Anda akan senang dengan yang Anda lakukan.

Ingat tidak ada orangtua yang sempurna.

Karena saya seorang idealis, saya sering berpikir bahwa saya akan melompat-lompat dan berteriak lebih daripada kebanyakan orang ketika saya masuk ke surga. Cita-cita saya akhirnya akan terwujud. Akan ada kasih yang sempurna, kedamaian yang sempurna, sukacita yang sempurna, ketetapan yang sempurna, dan orang yang sempurna. Namun, sampai saat itu, sementara kita berusaha untuk mengajarkan karakter kepada anak-anak kita, kita harus ingat bahwa tidak ada orang yang sempurna, dan itu berarti tidak ada orangtua yang sempurna. Mengingat hal tersebut akan berguna ketika Anda gagal dan tidak mencontohkan karakter dengan sempurna. Bersedia dengan rendah hati mengakuinya dan meminta maaf -- dari anak Anda yang tersinggung, serta dari Allah. Sebuah pengakuan dan permintaan maaf yang tulus berpengaruh jauh bagi hati seorang anak.

Dan, meskipun tidak ada orangtua yang sempurna, kita melayani Bapa Surgawi sempurna, yang selalu bersedia untuk mengampuni dan terus mengajarkan kepada kita karakter ilahi sementara kita meneruskannya ke anak-anak kita. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Focus on the Family
Alamat URL : http://www.focusonthefamily.com/parenting/spiritual-growth-for-kids/character-development/teaching-character-to-your-kids
Judul asli artikel : Teaching Character to Your Kids
Penulis artikel : Shana Schutte
Tanggal akses : 7 Mei 2015
 

DUNIA WANITA
Kekuatan Citra Diri Seorang Anak

Karakter Anak

Pada umumnya, kita menerima orang lain berdasarkan apa yang tampak. Kita sering menilai seseorang berdasarkan perilakunya yang dapat kita amati. Karena kebanyakan orang mengembangkan pola-pola perilaku yang spesifik dalam situasi-situasi tertentu, maka suatu klasifikasi tampaknya dapat menyederhanakan banyak hubungan antarmanusia. Jadi, suatu sistem yang didasarkan pada aktivitas luar adalah yang paling mudah diterapkan.

Namun, kebanyakan orang tidak senang jika dirinya dinilai dengan standar lahiriah yang sama seperti yang mereka terapkan pada orang lain. Hal ini disebabkan karena ia menyadari adanya segi-segi dalam dirinya yang tidak dapat dilihat orang lain. Jadi, sebenarnya, orang dewasa amatlah ahli dalam mengenakan topeng. Mereka hanya menunjukkan bagian-bagian kepribadian yang sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi saat tertentu.

Anak kecil belum pandai memakai cara-cara seperti itu. Perasaan anak mudah tampak melalui ekspresi wajah, gerak tubuh, dan tindakannya. Pengamatan yang cermat terhadap perilaku anak menunjukkan bagaimana seluruh hubungan anak itu dengan kehidupan ini ditentukan oleh citra dirinya.

Anak yang diharapkan sukses, diberi dorongan dan pengarahan yang tepat, mampu mengembangkan keyakinan yang membuatnya berhasil. Anak yang terus-menerus melihat dan mendengar bahwa dirinya tidak mampu dan selalu gagal, memiliki hambatan besar yang harus diatasinya agar dapat meraih keberhasilan.

Karena proses pemikiran anak terbatas pada sudut pandangnya sendiri (orang lain diharapkan untuk melihat dan merasakan seperti yang ia lihat dan rasakan), jelas bahwa sikap anak terhadap dirinya sendiri menentukan perilakunya. Jika anak merasa bahagia dan menikmati keindahan masa kanak-kanaknya, ia tidak memiliki kecenderungan untuk berpendapat negatif tentang dirinya. Akan tetapi, jika anak merasa tidak berharga dan tidak dikasihi, tak ada kecenderungan lain selain pendapat negatif tentang dirinya.

Yang perlu ditambahkan dalam kerangka acuan yang terbatas ini adalah bahwa anak merasa orang dewasa itu mahatahu dan mahakuasa. Anak kecil memandang orang dewasa sebagai makhluk ajaib dengan kuasa yang mengagumkan. Tak ada alasan baginya untuk mempertanyakan apa saja yang orang dewasa katakan atau lakukan. Jika anak merasa kehadirannya diinginkan dan merupakan bagian yang penting dari kehidupan orang dewasa, ia tak perlu mempertanyakan nilai dirinya kepada mereka. Tetapi jika anak merasa dirinya sebagai pengganggu atau penghambat bagi orang dewasa, ia akan menerima pendapat orang dewasa itu sebagai keputusan yang tepat. Konsep diri anak merupakan pencerminan dari apa yang telah terpantul melalui sikap dan perilaku orang lain terhadapnya.

Anak yang terus-menerus mendengar bahwa ia "buruk", "nakal", "tukang bikin ribut", atau "tidak bisa apa-apa" akan menerima penilaian-penilaian semacam itu sebagai suatu gambaran yang tepat mengenai dirinya, dan cenderung mengembangkan karakter seperti itu. Lalu, bertitik tolak dari hal itu, anak akan memandang dunia dan Penciptanya sebagai musuh. Para orangtua dan guru yang terbeban membimbing seorang anak ke dalam iman Kristen perlu berhati-hati dan memikirkan dengan sungguh-sungguh betapa berpengaruhnya citra diri bagi anak tersebut.

Diambil dari:
Judul asli buku : Teaching Your Child About God
Judul buku terjemahan : Mengenalkan Allah kepada Anak
Judul bab : Anak dan Dirinya Sendiri
Judul asli artikel : Kekuatan Citra Diri Seorang Anak
Penulis : Wes Haystead
Penerjemah : Drs. Xavier Q. Pranata
Penerbit : Yayasan Gloria, Yogyakarta 1995
Halaman : 34 -- 36
 
Stop Press! Yuk, Bergabung di Komunitas e-Penulis!
e-Penulis

Jika Anda seorang penulis atau seseorang yang ingin mengenal lebih jauh tentang dunia penulisan, kami mengajak Anda untuk bergabung di komunitas e-Penulis, baik di Facebook maupun Twitter. Kami memiliki banyak bahan dan informasi menarik seputar literatur Kristen dan umum, serta memiliki ribuan teman yang akan menjadi teman Anda juga untuk saling berbagi informasi, ide, ataupun pendapat dalam komunitas ini. Tunggu apa lagi? Yuk, klik alamat di bawah ini dan bergabunglah. Perluas wawasan Anda dan berelasilah!

e-Penulis
@sabdapenulis
 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-Wanita.
wanita@sabda.org
e-Wanita
@sabdawanita
Redaksi: Amidya, Hossiana, dan Davida
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org