Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/89

e-Wanita edisi 89 (9-8-2012)

Pandangan Alkitabiah tentang Kepemimpinan Wanita

_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________
         TOPIK: Pandangan Alkitabiah tentang Kepemimpinan Wanita
                        Edisi 89/Agustus 2012

MENU SAJI
DUNIA WANITA: WANITA SEBAGAI PEMIMPIN: ALKITABIAHKAH?
WAWASAN WANITA: EMPAT BELAS HAL YANG MEMBUAT HIDUP ANDA TIDAK BIASA

Shalom,

Pada bulan Agustus ini, redaksi mengangkat tema "Wanita sebagai
Pemimpin". Bagaimana pandangan Alkitab terhadap hal tersebut? Topik
ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, dengan tujuan setiap
wanita Kristen mengerti peran dan kedudukannya dalam hidup
bermasyarakat dan dalam keluarganya. Simak juga tip singkat untuk
membuat hidup Anda tidak biasa-biasa saja. Tanpa panjang lebar, kami
mengajak Anda menyimak artikel yang telah kami persiapkan. Tuhan Yesus
memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Wanita,
Novita Yuniarti
< novita(at)in-christ.net >
< http://wanita.sabda.org/ >

         DUNIA WANITA: WANITA SEBAGAI PEMIMPIN: ALKITABIAHKAH?

Di Alkitab ada beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan wanita
dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16, 14:33-35). Namun, yang
paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus,
"Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan
patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah
laki-laki; hendaklah ia berdiam diri." (1 Timotius 2:11-12). Kata
"memerintah" pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan "memiliki
otoritas atau kuasa", dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di
Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, "...
perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan
jemaat... Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka
menanyakannya kepada suaminya di rumah ...." (1 Korintus 14:34-35).
Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius, Paulus tidak
mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta
wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.

Keberatan Terhadap Paulus

Mungkin ada sebagian dari Anda yang dengan mudah mengiyakan kesimpulan
di atas, tetapi mungkin ada pula yang tidak setuju. Anda mungkin
mengatakan bahwa Paulus adalah seorang Yahudi dan bukankah budaya
Yahudi menempatkan wanita jauh di bawah pria? Dengan kata lain, Anda
curiga bahwa Paulus menyampaikan sesuatu yang bukan berasal dari
kehendak Tuhan, melainkan dari pengaruh budaya Yahudi belaka. Atau,
mungkin ada di antara Anda yang menganggap bahwa perintah Paulus di
sini merupakan perintah yang terikat oleh budaya setempat -- budaya
Yunani di Korintus. Jadi, Anda berdalih perintah ini hanya berlaku
untuk budaya tertentu dan masyarakat pada masa itu saja. Dengan kata
lain, perintah atau prinsip ini tidak relevan dengan kehidupan kita di
Indonesia saat ini.

Landasan Argumen Paulus

Landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya bukanlah
landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang tidak terikat
oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama, Paulus
menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan
argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: "Kepala dari
tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah
laki-laki dan kepala dari Kristus adalah Allah." (1 Korintus 11:3)
Segala sesuatu yang berkaitan dengan Kristus dan Allah (Bapa) bersifat
lintas budaya dan lintas waktu. Jadi, jika kita semua setuju bahwa
kepala dari Kristus adalah Allah, kita mesti setuju dengan persamaan
yang sebelumnya, yakni kepala dari laki-laki adalah Kristus dan kepala
dari perempuan adalah laki-laki. Tidak mungkin kita menerima argumen
bahwa kepala dari Kristus adalah Allah dan menolak persamaan bahwa
kepala dari laki-laki adalah Kristus dan kepala dari perempuan adalah
laki- laki. Semua berada dalam paket yang sama; menerima satu berarti
menerima semuanya.

Kedua, Paulus menjelaskan makna rohani yang terkandung dalam
penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu sendiri, yakni "...
laki-laki ... menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi
perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak
berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki."
(1 Korintus 11:7- 8) Kita tahu bahwa manusia -- laki-laki maupun
perempuan -- diciptakan menurut gambar Allah. (Kejadian 1:27) Kita
tahu bahwa laki-laki adalah manusia yang pertama diciptakan Allah dan
sesudah itu barulah perempuan, dengan cara mengambil rusuk dari
laki-laki. (Kejadian 2:21- 22) Menurut Paulus, urutan penciptaan ini
memiliki makna tersendiri, yaitu laki-laki menyinarkan gambar dan
kemuliaan Allah secara langsung karena ia yang pertama diciptakan
Tuhan. Sedangkan, perempuan -- yang diciptakan dari laki-laki --
menyinarkan kemuliaan laki-laki dan sudah tentu kemuliaan Allah,
kendati secara tidak langsung. Berbicara tentang penciptaan, sudah
tentu kita membicarakan sesuatu yang bersifat lintas budaya dan lintas
waktu, dan landasan inilah yang Paulus gunakan untuk mendukung
argumennya.

Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya,
yakni "Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa.
Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang
tergoda dan jatuh ke dalam dosa." (1 Timotius 2:13-14) Kita tahu bahwa
laki-laki adalah manusia pertama yang Tuhan ciptakan, dan kita tahu
bukan Adam yang pertama tergoda dan jatuh ke dalam dosa, melainkan
Hawa. Bagi Paulus, fakta historis ini bukanlah tanpa makna.
Sebaliknya, peristiwa ini justru menunjukkan urutan otoritas yang
Tuhan tetapkan, yaitu laki-laki kemudian perempuan. Sekali lagi,
Paulus tidak memakai argumen yang dibatasi oleh budaya dan waktu.

Kesimpulan dari semuanya ini adalah secara meyakinkan Paulus telah
mengemukakan suatu prinsip hierarki otoritas yang bersifat lintas
budaya dan lintas waktu, yakni laki-laki menempati anak tangga
otoritas di atas perempuan. Sebagai konsekuensinya, perempuan tidak
diperbolehkan memegang otoritas atas laki-laki. Jika kita dapat
menyetujui kesimpulan ini, maka ada satu pertanyaan lain yang
menggelitik untuk dijawab yakni, "Mengapakah Tuhan perlu menetapkan
hierarki otoritas (dengan kata lain, mengapa tidak membiarkan manusia
hidup sama rata saja), dan apa alasan-Nya sehingga pria menempati
posisi otoritas di atas wanita (dengan kata lain, mengapa bukan
perempuan yang menempati hierarki otoritas di atas laki-laki)?" Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan memberikan
penjelasannya.

Otoritas: Perlukah?

Allah adalah Allah yang tertib, dan otoritas pria terhadap wanita
haruslah dilihat dari bingkai ketertiban. Firman Tuhan berkata, "Sebab
Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera ... Tetapi
segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur."
(1 Korintus 14:33, 40) Allah tidak pernah menentang otoritas,
sebaliknya Allah mendukung adanya otoritas. Fakta dalam kehidupan
menunjukkan bahwa kepemimpinan (otoritas) adalah suatu kemutlakan;
tanpa kepemimpinan kita akan menuai kekacauan. Itu sebabnya dari awal
pemerintahan Tuhan atas umat manusia, Ia telah menetapkan hierarki
otoritas. Tuhan menempati posisi teratas dan di bawah-Nya adalah para
hamba-Nya seperti Musa, para hakim, imam, dan raja. Pada masa
Perjanjian Baru, Allah menempati posisi teratas sebagai kepala gereja,
dan di bawahnya terdapat para tua-tua dan gembala yang memunyai
otoritas atas umat Tuhan.

Tujuan otoritas dalam relasi antarmanusia adalah ketertiban, berbeda
dengan tujuan otoritas dalam relasi antara Tuhan dan manusia yang
adalah penyembahan. Sayangnya, sekarang ini tujuan ketertiban itu
telah diselewengkan menjadi kekuasaan. Manusia berlomba-lomba mencari
otoritas agar dapat mengembangkan sayap kekuasaannya. Namun, pada
mulanya bukan itu tujuan Allah memperkenalkan sistem otoritas ke dalam
hidup ini. Sebagai pencipta, Allah mengetahui bahwa dengan akal budi
dan kebebasannya untuk memilih, manusia berpotensi besar terlibat
dalam pertikaian dan adu kuasa. Tanpa otoritas yang mengaturnya,
manusia akan hidup dalam kekacauan dan akhirnya kehancuran. Itulah
sebabnya, harus ada hierarki otoritas di segala lini kehidupan; harus
ada atasan dan bawahan; untuk setiap atasan masih ada yang lebih atas,
dan untuk setiap bawahan masih ada yang lebih bawah. Kesamarataan
tanpa batas hanyalah akan memunculkan anarki; semua merasa berhak
untuk didengarkan dan dituruti kehendaknya.

Otoritas Laki-Laki Atas Perempuan

Otoritas laki-laki atas perempuan harus dilihat dari konteks keluarga,
yang adalah unit organisasi terkecil dalam masyarakat, dan kita tahu
bahwa segala bentuk organisasi memerlukan sistem otoritas yang jelas.
Saya kira inilah kuncinya. Kita harus menyadari bahwa otoritas
laki-laki atas perempuan dalam konteks kehidupan yang lain -- dalam
hal ini gereja -- sebenarnya adalah untuk mendukung sistem otoritas
dalam keluarga. Dalam 1 Korintus 14:33-35, Paulus meminta perempuan
untuk berdiam diri dalam pertemuan jemaat dan jika ada yang ingin
mereka ketahui, mereka harus menanyakannya kepada suami mereka di
rumah -- konteks keluarga. Dalam 1 Timotius 2: 8-15, Paulus
memerintahkan perempuan untuk tidak mengajar dan memerintah atas
laki-laki seraya menambahkan "perempuan akan diselamatkan karena
melahirkan anak ... " (ayat 15), yang dapat pula diartikan menerima
perannya sebagai ibu -- sekali lagi, konteks keluarga.

Dalam Efesus 5:22-33, Paulus menjabarkan teologi keluarga dan dalam
penguraiannya, ia menekankan sistem otoritas yang sama, yakni
ketundukan istri terhadap kepemimpinan suami. Sistem otoritas di
gereja haruslah mendukung dan sepadan dengan sistem otoritas di dalam
keluarga -- keduanya tidak boleh dan tidak seharusnya bertabrakan.
Bayangkan apa yang akan terjadi bila sistem otoritas di gereja
berkebalikan dengan sistem otoritas di rumah: kekacauan! Gereja kacau,
keluarga pun kacau.

Seharusnya gereja merupakan kepanjangan dari kehidupan di dalam
keluarga, dan sebaliknya keluarga merupakan kepanjangan dari kehidupan
di dalam gereja. Penempatan perempuan dalam hierarki otoritas yang
lebih tinggi daripada laki-laki di gereja akan merancukan posisinya --
dan posisi suaminya -- di dalam keluarga. Saya kira ini adalah sesuatu
yang dicoba untuk dihindarkan oleh Paulus. Peran ganda yang berlainan
strata otoritas (sebagai istri di rumah namun pemimpin di gereja) akan
menaburkan benih ketidaktundukan istri kepada suami di keluarga. Jadi,
berdasarkan catatan firman Tuhan ini, laki-laki ditetapkan Tuhan untuk
menjadi pemegang otoritas atas wanita dan bukan sebaliknya.

Sungguh pun demikian, di dalam Alkitab tercatat beberapa tokoh
pemimpin yang adalah perempuan. Misalnya, Miryam, kakak Musa, disebut
sebagai nabiah (Keluaran 15:20) dan terlihat jelas bahwa ia pun
memegang peran kepemimpinan di samping Harun dan Musa. Juga Debora
yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di
Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu
dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan
dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya
adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan
Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus
dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).

Apa yang harus kita simpulkan dari kenyataan di atas, yang seakan-akan
bertentangan dengan prinsip kepemimpinan laki-laki atas perempuan?
Saya kira jawabannya adalah bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang
terpenting adalah tujuannya -- ketertiban -- bukan sarananya --
otoritas laki-laki atas perempuan. Tuhan memilih Debora karena Barak
tidak berani maju melawan Sisera, dan yang diperlukan saat itu adalah
ketertiban dan kesejahteraan di Israel. Kendati Miryam menempati
posisi penting dalam pemerintahan Musa, namun peranan Miryam tidak
mengganggu ketertiban, malah menambah kuatnya kepemimpinan Musa
(kecuali pada satu insiden di mana ia menggugat kepemimpinan Musa,
Bilangan 12). Para wanita yang terlibat dalam pelayanan Tuhan Yesus
sebagai penyandang dana juga menambah ketertiban dan kesejahteraan
hidup para murid. Dengan kata lain, yang terpenting adalah jiwa atau
roh dari perintah Tuhan, bukan hurufnya.

Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam
pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan
kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma
12:4-8, Efesus 4:7-12; 1 Petrus 4:10-11 ). Misalkan, Tuhan tidak
pernah merinci bahwa hanya laki-laki yang mendapat karunia sebagai
pemimpin atau gembala. Salah satu contoh konkret adalah keterlibatan
Priskila bersama suaminya Akwila dalam pelayanan, yang bukan secara
kebetulan, namanya selalu ditulis mendahului nama suaminya -- sesuatu
yang secara budaya memperlihatkan bahwa peran Priskila lebih besar
dibanding suaminya (Kisah Para Rasul 18:26). Contoh lain adalah
Filipus, seorang pemberita Injil, yang memunyai empat anak dara yang
"beroleh karunia untuk bernubuat" (Kisah Para Rasul 21:9).

Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di
hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan
keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan,
"Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan
tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan
berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh
perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah."
(1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas
bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban,
sedangkan tujuannya adalah ketertiban -- terutama di dalam keluarga.

Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat
kita ambil:

1. Tuhan menyetujui dan menggunakan sistem otoritas, baik dalam
relasi-Nya dengan manusia maupun dalam hubungan antarmanusia.

2. Tujuan sistem otoritas dalam relasi Tuhan dan manusia adalah
penyembahan, sedangkan tujuan otoritas dalam relasi antarmanusia
adalah ketertiban.

3. Tuhan menetapkan laki-laki sebagai figur otoritas dalam keluarga,
mengepalai istri dan anak-anaknya. Namun, baik laki-laki maupun
perempuan adalah setara di hadapan Tuhan. Sistem otoritas dalam relasi
antarmanusia tidak identik dengan superioritas.

4. Tujuan sistem otoritas dalam keluarga adalah ketertiban -- bukan
kekuasaan. Dengan kata lain, laki-laki diharapkan berfungsi sebagai
pencipta dan penjaga ketertiban dalam keluarga.

5. Sistem otoritas di gereja seyogianya mendukung sistem otoritas di
dalam keluarga. Ketidaksepadanan akan menimbulkan kerancuan peran dan
melemahkan sistem otoritas dalam keluarga.

6. Pengecualian yang dicatat dalam Alkitab menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya --
ketertiban -- bukan caranya -- otoritas laki-laki atas perempuan.

Diambil dari:
Judul majalah: Eunike, 2004
Judul artikel: Wanita sebagai Pemimpin: Alkitabiahkah
Penulis: Pdt. Paul Gunadi Ph.D.
Penerbit: Yayasan Eunike, 2004
Halaman: 14 -- 19

          WAWASAN WANITA: EMPAT BELAS HAL YANG MEMBUAT HIDUP
                            ANDA TIDAK BIASA

1. Belajarlah tersenyum bila masalah datang.
2. Tetap berpenampilan menarik meskipun dalam saat berpuasa.
3. Tulus seperti merpati supaya jangan menipu, cerdik seperti ular
   supaya jangan ditipu (berhikmat).
4. Boleh lupa dompet asal jangan lupa doa.
5. Punyailah iman yang dapat melihat kesempatan dalam kesulitan dan
   bukan melihat kesulitan dalam kesempatan.
6. Layanilah Tuhan dengan karunia yang Ia berikan karena banyak yang
   mampu (melayani) tetapi tidak mau, dan banyak yang mau tetapi tidak mampu.
7. Jadikan persembahan Anda menjadi persembahan dan bukan penyesalan.
8. Layanilah Tuhan dengan sukacita dan bukan dengan suka-suka.
9. Pilihlah makanan Anda sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan.
10. Jadilah Kristen yang kritis, tetapi jangan penuh kritik.
11. Lebih baik engkau berdiam dan dikira orang bodoh daripada banyak
    bicara dan membuktikan engkau bodoh (Amsal 17:28).
12. Jadikanlah Alkitab sebagai "Obat Kuat" dan bukan "Obat Tidur".
13. Lakukanlah yang benar, bukan apa yang kamu rasa benar.
14. Terimalah orang lain apa adanya, bukan "ada apanya".

Diambil dari:
Nama buletin: Gema Kalvari, Edisi 67/Mei - Juni 2006
Judul asli artikel: 14 Hal yang Membuat Hidup Saudara Tidak Biasa-Biasa
Penulis: Tidak dicantumkan
Halaman: 19

Kontak: < wanita(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Mamardi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/wanita >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org