Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/172

KISAH edisi 172 (3-5-2010)

Sahabat

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                       Edisi 172; 3 Mei 2010

PENGANTAR

  Shalom,

  Perkenalkan penyakit yang cukup kronis saat ini: kesepian! Penyakit
  ini memang bukan disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tidak
  dapat dicari obatnya di apotek di seluruh penjuru dunia. Tampaknya,
  penyakit ini muncul akibat kurangnya rasa kasih sayang yang
  merupakan kebutuhan dasar manusia. Karena kebutuhan yang vital ini
  maka setiap orang memerlukan sahabat. Tetapi, sahabat pun bisa
  dicuri oleh kematian, jarak, keluarga, uang, dan sebagainya. Namun
  bagi orang percaya, ada Sahabat kekal yang selalu menyertai kita
  menghadapi gelombang kehidupan, yaitu Yesus Kristus.

  Redaksi tamu KISAH,
  Truly Almendo Pasaribu
  http://kekal.sabda.org
  http://fb.sabda.org/kisah
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                              SAHABAT

  Saya ingin menjadi populer ketika saya bertumbuh dewasa. Namun
  seperti kebanyakan orang muda lainnya, saya hanya memiliki sedikit
  teman baik. Sebenarnya, saya akan bahagia jika memiliki seorang
  sahabat saja, seorang yang sungguh-sungguh adalah sahabat karib
  saya, namun saya tidak pernah memilikinya. Sementara itu, saudara
  laki-laki saya memunyai banyak sahabat; setiap orang menyukainya.
  Saya tidak seperti dia. Saya seorang penyendiri, dan yang lebih
  buruk, saya sangat kesepian.

  Seiring tahun-tahun yang berlalu, saya membangun sebuah benteng di
  sekeliling hati saya agar tidak seorang pun dapat melukai saya
  secara emosi. Namun, ketika saya menjadi seorang Kristen, Yesus
  mulai membongkar benteng hati saya dan melihat kerinduan saya untuk
  memiliki sahabat yang erat. Ia membuat saya bersedia menanggung
  risiko sakit hati dan menderita untuk membangun persahabatan dengan
  orang lain.

  Saya bersahabat dengan Ron yang saya kenal sejak kelas 2 SMA. Pada
  tahun pertama saya mengenalnya, kami berteman hanya melalui
  aktivitas-aktivitas yang kami lakukan bersama. Kami tidak pernah
  cukup dekat untuk saling berbagi mimpi dan perasaan-perasaan kami
  yang lebih dalam. Saya menyukai Ron, tetapi saya tidak pernah merasa
  diri saya berarti di dalam hidupnya.

  Namun demikian, setelah saya menjadi seorang Kristen, saya ingin
  memberi tahu Ron tentang betapa berartinya Kristus bagi diri saya
  dan betapa Kristus mengasihi dia. Dalam hati, saya berharap
  persahabatan kami yang biasa saja dapat menjadi lebih kuat di dalam
  Kristus. Namun, Ron tidak menyambut perkataan saya. Bahkan ia
  menilai Yesus tidak layak disembah. Yesus telah mengutuk pohon ara
  hanya karena pohon itu tidak berbuah; menurut Ron, kemarahan yang
  tidak masuk akal seperti itu membuktikan bahwa Yesus hanyalah
  manusia biasa seperti kita.

  Tentu saja, Allah memengaruhi kehidupan Ron dan menyentuh hatinya.
  Selama semester I di Universitas San Jose, Ron mengalami situasi
  yang sangat buruk. Dia selalu memimpikan akan berkarier di Angkatan
  Udara Amerika Serikat, dan dia sudah bekerja keras di ROTC (Reserve
  Officers Training Corps -- Korps Pelatihan Perwira Cadangan) sejak
  duduk di bangku SMA sebagai persiapan lebih lanjut ke perguruan
  tinggi. Namun karena ia memiliki kelemahan pada penglihatannya, ia
  ditolak masuk program pilot. Hati Ron sangat hancur. Dia kehilangan
  minat belajar sehingga gagal. Tidak lama kemudian, ia berhenti
  kuliah dan menjadi tukang pos. Tugas membosankan mengantarkan
  surat-surat sedikit mengobati luka di hatinya.

  Saya mengira dalam keputusasaannya untuk menemukan sesuatu yang
  bermakna di dalam hidupnya, hati Ron menjadi lunak dan ia
  bersama-sama dengan saya menghadiri acara sosial untuk kaum lajang
  di gereja. Seperti saya, Ron mulai menghadiri pertemuan mingguan
  sebelum akhirnya mengikuti kebaktian Minggu pagi. Pada saat itu, Ron
  menjadi seorang Kristen dan anggota aktif gereja.

  Salah seorang pemuda yang bersemangat menyambut kami dalam
  persekutuan gereja adalah Tom. Sekalipun beberapa tahun lebih tua,
  Tom dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam kelompok seusia kami.
  Dia mantan pemakai obat-obatan ketika ia berusia sekitar 16 tahun.
  Sekarang, ia seorang Kristen yang taat. Kami melihat dengan jelas
  bahwa Tom adalah kekuatan dinamis di dalam kelompok pemuda karena
  setiap orang meminta nasihatnya tentang ke mana dan kapan kami akan
  bertemu untuk persekutuan, berpesta pantai, dan berbagai kegiatan
  lainnya.

  Tom dan saya cepat menjadi teman karena dia bertanggung jawab
  membimbing saya di dalam kelompok sel. Seperti beberapa laki-laki
  lainnya, saya sulit memercayai teman laki-laki apalagi untuk
  membagikan mimpi dan perasaan-perasaan saya yang terdalam. Saya
  dapat bersenda gurau bersama laki-laki yang lain, berolahraga
  bersama, dan bertukar pendapat tentang berbagai topik umum, tetapi
  saya tidak terlalu suka dekat dengan mereka.

  Tetapi Tom senantiasa menelepon dan membujuk saya agar
  berpartisipasi dalam berbagai organisasi sosial kaum lajang. Saya
  tidak pernah berhadapan dengan seorang yang begitu gigih berusaha
  memenangkan hati saya. Sekalipun ia sering mencela sisi perasa saya
  yang sentimental, ia telah menyejukkan hati saya yang kesepian
  dengan perhatian yang terus-menerus.

  Saya dan Tom sering meluangkan waktu sore hari di restoran,
  membicarakan gereja dan bagaimana Kristus turut campur di dalam
  kehidupan kami. Sekalipun pengalaman masa lalu kami jauh berbeda,
  namun kami sekarang bersaudara di dalam Kristus. Karena itulah di
  antara kami terbentuk suatu persahabatan yang unik.

  Seorang lagi sahabat baik saya selama tahun-tahun pertama saya
  sebagai orang Kristen adalah Danny. Ia 6 tahun lebih tua dari saya,
  namun masih hidup dalam perlindungan orang tuanya. Danny menderita
  penyakit paru-paru sepanjang hidupnya, dan karena pengobatan yang ia
  jalani tidak berhasil menyembuhkan dia, orang tua Danny menahannya
  di rumah pada usia yang masih sangat muda. Oleh sebab itu,
  keterampilan sosial Danny sangat buruk ketika saya pertama kali
  bertemu dengannya.

  Danny kurang berpendidikan dan ia naif, dengan mata menonjol keluar
  yang membuat sebagian besar orang enggan mendekatinya. Mereka sangat
  tidak peduli kepada Danny. Ia seorang yang aneh dan sensitif.
  Bertahun-tahun mengalami kesepian membuatnya nyaris berusaha bunuh
  diri pada masa mudanya, dan membuat dia telah mendapatkan rasa iba
  dari orang-orang yang menyadari betapa sulitnya hidup yang
  dijalaninya.

  Sekalipun penyakit paru-parunya belum sembuh, namun kondisi tubuhnya
  masih memungkinkannya menghadiri kegiatan sosial kami. Danny masih
  membutuhkan perhatian, dan ia menganggap kami para sahabatnya yang
  paling dekat. Saya masih ingat ketika ia sering berdiri di dekat
  jendela mobil saya setelah kebaktian Minggu sore dan menunjukkan
  perhatian pada kehidupan dan orang banyak selama 1 sampai 2 jam!
  Pada suatu kali di pantai, ia membiarkan beberapa orang menimbuni
  dirinya dengan pasir sampai ke leher sekalipun ia mengenakan pakaian
  biasa. Kemudian mereka menempelkan semacam bulu-bulu di rambutnya
  yang hitam keriting. Ketika saya berjalan mendekati dan melihat dia
  kelihatan sangat lucu, saya pun tertawa. Ia sangat sakit hati dengan
  tawa saya karena setelah mereka melepaskan dia, dengan marah ia
  mengejar saya. Dalam sejumlah acara, saya melihat diri saya di dalam
  Danny, dan pada saat ia merasa sebagai orang luar, saya mengetahui
  apa yang dirasakannya. Jadi, ketika ia mengejar saya di pantai, saya
  mengetahui dia berteriak dari hati terluka, yang seharusnya membuat
  saya lebih peka pada keadaan itu.

  Kami sering pergi ke pantai, ke taman, dan berjalan-jalan ke San
  Francisco untuk bersaksi tentang Kristus kepada orang banyak.
  Biasanya, ketika saya sedang bersaksi, Danny berdoa supaya
  orang-orang itu tidak marah atau mengganggu kami. Pada suatu saat
  saya mendesak supaya dia memperkenalkan kami ketika kami mendekati
  satu pasangan di pantai. Akhirnya, setelah beberapa saat bersikap
  canggung dan berdiam diri, ia berkata tanpa pikir panjang, "Hai,
  saya Jerry, dan ini Danny." Pada malam itu, saya mengantar Danny
  pulang. Ketika saya akan kembali pulang, saya dapat melihat Danny
  berdiri di balik jendela depan rumah. Ia mengintip dan memerhatikan
  kepergian saya.

  Susan

  Pada saat bersamaan saya menjalin persahabatan dengan Ron, Tom, dan
  Danny, saya bertemu dengan seorang yang menjadi sahabat yang bahkan
  lebih dekat lagi bagi saya. Susan adalah seorang remaja periang. Dia
  dipenuhi oleh sukacita masa remaja, dan kebahagiaannya menghadirkan
  kehangatan bagi setiap orang yang bersama dengannya. Sekalipun
  demikian, Susan pernah mengalami masa kehilangan ketika ia masih
  duduk di bangku SMA: ayahnya meninggal karena serangan jantung.
  Selama masa kehilangan itu, kami menjadi sahabat akrab.

  Susan dan saya memiliki perbedaan. Ia telah menjadi orang Kristen
  sejak kecil. Sebaliknya, saya menjadi orang Kristen beberapa tahun
  sebelum kami bertemu. Susan duduk kelas tiga SMA dan saya mahasiswa
  tingkat dua. Sekalipun berbeda, kami menikmati persahabatan kami.

  Kami berdua juga menikmati persahabatan dengan orang-orang lain,
  tetapi kami menemukan kebahagiaan yang sejati dan kami saling
  percaya, melebihi yang kami dapat lakukan kepada orang lain. Tidak
  mengherankan bahwa setelah 2 tahun saling bercanda, tertawa, dan
  menangis bersama pada masa perkenalan kami dengan orang lain, dan
  berdoa bersama, persahabatan kami pun berkembang menjadi saling
  mencintai.

  Susan mendaftar di Universitas San Jose, dan kami pun menjadi tak
  terpisahkan. Kami belajar bersama, menonton sepak bola, bola basket,
  dan polo air, mengikuti kebaktian Minggu, merayakan Paskah serta
  Natal, berjalan-jalan di pantai California, melayani sebagai relawan
  Palang Merah untuk membantu korban banjir, membangun rumah tembok
  untuk orang miskin di Meksiko, dan merencanakan masa depan bersama.

  Susan adalah orang pertama yang berkata, "Aku mencintaimu, Jerry."
  Dialah cinta pertama saya. Dia tertanam kuat di dalam hati saya dan
  menyemaikan suatu kebahagiaan yang selamanya akan selalu saya jaga.

  Saya Bukan Batu

  Saya tidak mengetahui berapa kali saya berperan sebagai Simon dan
  Garfunkel dalam "I Am Rock" sebelum jatuh cinta kepada Susan;
  barangkali sudah ratusan kali. Hati saya begitu sakit karena merasa
  kesepian berkepanjangan sehingga saya memiliki kerinduan yang kuat
  untuk tidak pernah lagi merasa kesepian. Sebenarnya, setiap kali Tom
  melihat saya mendengarkan lagu yang penuh dengan mengasihani diri
  itu, ia akan menertawakan saya. Ia menilai sikap dramatis seperti
  anak remaja itu menggelikan. Setelah Susan menyatakan cintanya
  kepada saya, saya tidak pernah lagi merasakan kesepian, satu
  perasaan yang pernah mengganggu saya.

  Sekalipun demikian, konsekuensi paling buruk dari hubungan saya
  dengan Susan adalah Ron bersikap kasar karena ia selalu merasa
  sedang bersaing dengan saya. Yang menjengkelkan hatinya ialah Allah
  telah terlebih dulu menumpangkan tangan-Nya ke atas saya dan
  tampaknya sudah memanggil saya untuk pelayanan khusus di dalam
  Kerajaan-Nya. Ketika Susan jatuh cinta kepada saya, rasa permusuhan
  Ron juga tumbuh, dan ia tidak dapat lagi menahan kemarahannya.

  Setiap kali Ron mendapati kami sedang bersama-sama, ia akan
  menunjukkan kelemahan karakter saya dan mencela keinginan Susan
  untuk bersama dengan saya. Pada awalnya, saya hanya menertawakan
  komentarnya yang buruk, tetapi itu hanya membuat keadaan bertambah
  buruk. Ketika saya menentangnya, ia berkata bahwa saya sedang
  membayangkan semua rasa sakit saya akan menjadi bagian dia juga.
  Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami
  dan mengabaikan dia.

  Pada saat itulah, Tom pindah ke Universitas Pepperdine di Malibu.
  Tom membangun persahabatan baru, memprakarsai berbagai kegiatan
  baru, dan berkencan dengan gadis yang baru. Sekalipun persahabatan
  kami tidak berhenti, ada masa yang kosong di dalamnya.

  Sahabat saya yang lain, Danny, membuat saya pusing ketika ia
  menunjukkan sikap rasis ketika merespons hubungan saya dengan Susan,
  yang seorang kulit putih. Danny dibesarkan dalam sebuah keluarga
  fundamentalis, yang tidak menerima integrasi antar-ras hingga
  mengherankan saya bahwa orang tuanya selalu bersikap bersahabat dan
  hangat terhadap saya. Namun pada suatu sore, Danny berkata kepada
  saya bahwa Allah menciptakan berbagai ras dengan urut-urutan khusus.
  Urutan paling atas adalah orang kulit putih, paling bawah adalah
  orang kulit hitam, dan di tengah-tengahnya adalah orang Asia. Allah
  menghendaki setiap anggota ras tetap di dalam kelompok mereka. Oleh
  sebab itu, Ia melarang orang-orang menikah dan berkencan dengan
  anggota ras lain.

  Saya mengetahui bahwa Danny berusaha peka terhadap perasaan saya dan
  ia hanya berusaha untuk jujur dan terbuka. Ia hanya berpikir bahwa
  saya sedang melakukan sesuatu yang salah, dan ia ingin mengoreksi
  saya dengan lemah lembut. Tetapi saya sangat marah; saya berkata
  kepadanya dengan dingin bahwa kami tidak dapat lagi bersahabat dan
  ia harus meninggalkan saya. Saya menyesal ketika Danny melangkah
  berat meninggalkan rumah saya dengan wajah tampak sangat sedih.
  Namun, saya sangat marah sehingga tidak memanggil dia kembali.

  Kehilangan sahabat sangat merisaukan hati saya sehingga saya tidak
  dapat menemui Susan. Saya mengetahui, Danny mengasihi saya melebihi
  hidup itu sendiri. Saya tidak menghargai apa yang dilakukan oleh
  seorang yang begitu mengasihi saya dan baik kepada saya. Saya marah
  bahwa dia merasa sudah sepantasnya bertindak seperti itu, dan saya
  pun menahan keinginan untuk menemuinya. Saya bersikap tidak dewasa
  dan tidak menyadari bahwa saya seperti orang bodoh yang melemparkan
  sesuatu yang sangat berharga ke dalam lautan.

  Lambat laun, Susan menjauhi saya karena ia merasa sakit hati -- ia
  merasa saya tidak sungguh-sungguh mencintainya. Dan sekalipun saya
  mengetahui telah tumbuh jarak di antara kami, saya tidak melakukan
  apa pun untuk menyelamatkan rasa cinta kami. Tidak lama setelah ia
  pindah ke Texas, ia jatuh cinta kepada pria lain dan mereka menikah
  beberapa bulan kemudian. Saya pun menyadari bahwa saya telah
  mengabaikan persahabatan berharga yang Allah sudah berikan.

  Namun anehnya, saya tidak menjadi depresi karena kehilangan
  persahabatan itu. Tidak seperti ketika saya menangis di gereja, saya
  merasakan kehadiran dan kasih Yesus, dan saya tidak merasa
  sendirian. Yesus adalah sahabat saya, dan itulah yang paling penting
  bagi saya.

  Beberapa bulan setelah Susan menikah, saya bepergian seorang diri ke
  Danau Louise di Alberta, Kanada. Di sana, saya berjalan kaki menuju
  pegunungan Kanada. Saya merasakan ketenangan di danau yang masih
  alami itu dan merenungkan persahabatan saya bersama dengan Yesus.
  Dia pribadi yang terus-menerus hadir di dalam hidup saya. Semua
  hubungan saya telah berubah, kecuali hubungan saya dengan Yesus. Dan
  saya bahagia, Yesus tidak memerhatikan keinginan hati saya untuk
  memiliki hati seperti batu. Sekalipun gunung di depan saya begitu
  indah, saya tidak ingin menjadi batu seperti itu. Saya menyadari
  jika saya menjadi batu, saya tidak dapat merasakan kasih Yesus.

  Saya memikirkan kesetiaan Yesus dalam persahabatan -- Ia tetap
  bersama saya bahkan ketika saya berusaha membuat-Nya menjadi sejenis
  sahabat yang saya inginkan (seperti yang dilakukan Danny kepada
  saya), atau pada saat saya sibuk menyelesaikan masalah pribadi saya
  dan melupakan kehadiran-Nya di dekat saya (seperti yang dilakukan
  Tom kepada saya), atau pada saat saya menjadi iri hati terhadap
  persahabatan orang lain dengan-Nya dan dengan marah mengeluh
  kepada-Nya (seperti yang dilakukan Ron kepada saya), atau pada saat
  saya menerima cinta-Nya untuk mendapatkan pengakuan dan membiarkan
  keinginan saya terhadap diri-Nya berkurang (seperti yang saya
  lakukan kepada Susan). Sekalipun saya sering mengabaikan kasih-Nya
  kepada saya dan kurang menghargai anugerah keselamatan, Yesus tetap
  sahabat saya yang setia.

  Setiap kali saya merasa kehilangan seorang teman atau gagal menjadi
  sahabat-Nya, Yesus bersedia memegang tangan saya erat-erat dan
  merangkul bahu saya, dan kemudian Ia akan berkata, "Jangan takut,
  percaya saja." Oleh karena kasih yang begitu besar di mata-Nya, saya
  percaya bahwa Dia sungguh-sungguh sahabat saya, seperti Lazarus
  percaya kepada-Nya.

  Mengasihi Gereja-Nya

  Ketika Yesus berkata kepada para pengikut-Nya bahwa tidak ada kasih
  yang lebih besar dari kasih orang yang menyerahkan nyawanya untuk
  para sahabatnya, Dia juga berkata, "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya
  kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Kamu adalah
  sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu."
  (Yohanes 15:12,14) Yesus tidak hanya membangkitkan Lazarus dari
  kubur, tetapi Ia juga menunjukkan kasih-Nya kepada Lazarus dengan
  mati bagi dia. Tidak cukup bagi Yesus bahwa Dia adalah sahabat kita
  dan kita adalah sahabat-Nya, tetapi Dia juga menginginkan kita
  menjadi sahabat satu dengan yang lain. Tidaklah cukup bagi Yesus
  bahwa saya berbaring di salah satu danau terindah di dunia di
  pegunungan Kanada dan menghargai persahabatan-Nya. Yesus ingin saya
  kembali ke gereja sehingga Ia dapat memulihkan persahabatan yang
  telah Ia berikan kepada saya yang retak.

  Setelah kembali dari Kanada, usai kebaktian Minggu, Danny mendekati
  saya dan berkata bahwa ia ingin berbicara. Selama beberapa minggu,
  kami memang tidak saling bicara. Saya mengikuti Danny menuju halaman
  gedung bagian dalam, tempat ia dapat berbicara secara pribadi.
  "Jerry," katanya, "aku memikirkan perkataanmu supaya kita tidak usah
  bersahabat jika aku tidak setuju kamu berkencan dengan gadis kulit
  putih, dan aku tidak menginginkan hal itu." Danny melanjutkan dengan
  tergagap, "Tidak masalah bagiku jika kamu berkencan dengan siapa pun
  yang kamu inginkan."

  Jika Yesus dapat mengampuni saya untuk semua kesalahan saya, tentu
  saya juga dapat mengampuni seorang sahabat yang begitu peduli kepada
  saya. Sekalipun kata-katanya diekspresikan dengan janggal, saya
  memeluknya dan tersenyum, dan menggandengnya kembali ke dalam
  gereja. Sejak sore itu, ras tidak pernah menjadi masalah di antara
  kami. Pada saat itu, saya melihat jejak kefanatikan pun lenyap dari
  dalam hatinya karena persahabatannya dengan Yesus.

  Sekalipun para dokter yang merawat mengatakan kepada orang tuanya
  bahwa usianya tidak akan mencapai 20 tahun, namun Danny mencapai
  umur 50 tahun. Menjelang kematiannya, kami tidak tinggal di negara
  bagian yang sama. Danny tidak pernah menikah, tidak pernah punya
  pacar -- sesuatu yang ia mimpikan. Ia masih tinggal bersama ibunya
  ketika ibunya mengirim pesan kepada saya bahwa kondisi Danny
  memburuk dan ia dirawat di rumah sakit. Malam sebelum ia meninggal,
  saya berbicara kepadanya melalui telepon. Danny masih memunyai
  rencana besar dan juga mimpi-mimpi. Ia ingin membuat sebuah perahu
  model dan mengikutsertakannya dalam pekan raya. Ia tidak pernah
  kehilangan sikap optimis dan kepolosannya. Kata-kata terakhirnya
  kepada saya adalah betapa beruntungnya ia karena memiliki Yesus
  sebagai Sahabatnya.

  Allah juga memperbaharui persahabatan saya dengan Tom segera setelah
  ia lulus dari Universitas Pepperdine. Tom selalu tahu di mana
  diperlukan tindakan, dan ia menemukan bahwa hal besar sedang terjadi
  di Berkeley. Pelayanan yang dinamis sedang tumbuh di sana, dan Tom
  memperkenalkan saya dengan para pemimpin kunci pelayanan tersebut.
  Nantinya, Yesus memanggil saya untuk melayani-Nya dalam sebuah
  pelayanan yang akan menjadi pekerjaan saya.

  Pada saat itu, Tom juga menemukan pelayanannya. Setelah menikah dan
  memiliki anak, ia menjadi direktur pelayanan misi penyelamatan di
  Oregon. Selama bertahun-tahun ia melayani pria dan wanita yang
  hidupnya hancur karena alkohol dan obat-obatan. Yesus telah
  menolongnya, dan sekarang ia melayani Tuhan untuk melakukan hal yang
  sama bagi orang lain. Tom dan saya tetap membangun hubungan hingga
  saat ini.

  Namun demikian, hubungan saya dengan Ron membutuhkan waktu lebih
  lama untuk pulih. Beberapa bulan setelah hubungan kami retak, pada
  suatu malam yang sudah larut, Ron berdiri di ambang pintu rumah saya
  dan berkata bahwa kami harus bicara. Selama sejam kami tidak
  berbicara apa pun. Sekalipun saya dapat merasakan sesuatu sedang
  mengganggu hatinya, namun saya hanya duduk dan menunggu ia berbicara
  lebih dulu. Tidak ada mobil lain yang melintas saat keheningan itu
  berkuasa. Sementara saya meliriknya, ia menundukkan kepala dan mulai
  menangis. Saya tidak pernah melihat Ron menangis. Dengan penuh air
  mata, ia berkata bahwa ia telah memperlakukan saya dan Susan dengan
  buruk. Iri hati dan cemburu telah mencengkeram dirinya dan ia tidak
  dapat terbebas. Dia ingin saya mengampuninya. Ia ingin kami kembali
  menjadi sahabat.

  Semula saya membenci hal itu. Perilaku Ron telah membuat saya sangat
  marah karena hal itu tidak dapat saya mengerti. Saya benar-benar
  tidak ingin mengampuninya. Ia seperti suatu hantaman, tidak hanya
  bagi saya, tapi juga bagi Susan. Akan tetapi, kuasa kasih Yesus
  menggerakkan saya untuk memeluk Ron dan mengampuninya. Ketika saya
  melakukannya, saya merasakan suatu beban berat lepas dari hati saya.
  Allah telah memulihkan dan memperbarui persahabatan kami. Sejak saat
  itu, persahabatan itu menjadi suatu berkat. Sesungguhnya tanpa
  dukungan finansial dan dorongan dari Ron, saya tidak dapat
  membagikan Injil kepada ribuan orang selama pelayanan saya di
  Berkeley. Bertahun-tahun Ron mendukung lebih dari setengah kebutuhan
  saya, dan nantinya saya akan mendedikasikan buku kedua saya
  untuknya.

  Saat ini, Ron beserta istri dan keempat anaknya tinggal di sebuah
  tanah pertanian di Oregon. Di tempat inilah ia bekerja di kantor
  pos. Selain membesarkan anak-anaknya untuk menjadi orang Kristen
  yang takut akan Allah, Ron juga melayani sebagai tua-tua di
  gerejanya. Ia menjadi contoh orang Kristen dan seorang pemimpin yang
  baik dalam komunitasnya. Kami masih berhubungan lewat telepon,
  mendiskusikan betapa Yesus telah memberkati kehidupan kami dengan
  luar biasa.

  Yesus juga mengembalikan persahabatan saya dengan Susan, 2 tahun
  setelah ia menikah. Lebih dari 20 tahun lalu, kami menikmati makan
  siang yang menyenangkan di restoran Bob`s Big Boy, yang di tempat
  itu kami juga sering makan malam bersama. Ia terbang dari Texas
  untuk mengunjungi ibunya di San Jose. Sekalipun kami belum pernah
  bertemu lagi sejak saat itu, saya masih ingat saat ia berdiri di
  beranda rumahnya setelah saya memutuskan hubungan dengannya. Ia
  menangis, matanya memancarkan harapannya kepada saya.

  Kami masih berkomunikasi melalui telepon, surat, dan email. Susan
  selalu menceritakan dua anak laki-lakinya, dan saya selalu
  menceritakan dua anak perempuan dan satu anak laki-laki saya.
  Kadang-kadang, 1 atau 2 tahun kami tidak berkomunikasi, tetapi
  persahabatan kami tetap kuat. Saat mengalami kesedihan, kami selalu
  tahu bahwa kami saling mendoakan, dan saat kami berada dalam
  masa-masa yang menyenangkan, sukacita pun ada bersama kami.

  Susan menjadi begitu bijak dalam kehidupannya sebagai istri, ibu,
  dan dalam pekerjaannya dengan anak-anak di Texas yang memiliki
  masalah mental. Gadis dengan hati emas itu telah meraih gelar master
  dan sekarang menjadi konselor profesional berlisensi. Sungguh
  merupakan kombinasi yang sangat hebat: memancarkan begitu banyak
  sukacita dan begitu bijak! Susan melayani Tuhan dengan sukacita yang
  meluap dari hidupnya, dan saya sungguh diberkati memiliki seorang
  sahabat yang penuh perhatian.

  Tentu saja, saya tidak akan memiliki para sahabat seperti itu jika
  Yesus tidak menjadi sahabat terbaik saya, dan jika tangan-Nya yang
  memulihkan itu tidak ada dalam persahabatan saya. Yesus masih
  mengajarkan bagaimana menjadi sahabat yang mengasihi dan setia,
  seperti Ia adalah sahabat yang mengasihi dan setia kepada Lazarus
  dan saya. Saya bersyukur kepada Allah karena hati saya dapat
  bernyanyi, "Yesus sahabat terbaikku!"

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul asli artikel: Yesus Pahlawanku -- Kisah Jerry
  Judul buku: Bagaimana Saya Tahu Jika Yesus Mengasihi Saya?
  Penulis: Christine A. Dallman dan J(erry) Isamu Yamamoto
  Penerjemah: Dwi Prabantini
  Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2003
  Halaman: 52 -- 63
______________________________________________________________________
  Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab
  kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir
  dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak
  mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. (1 Yohanes 4:7-8)
  < http://alkitab.sabda.org/?1Yohanes+4:7-8 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Doakan persahabatan di antara orang percaya dan doakan agar
     orang-orang percaya mampu meneladani sikap Yesus sebagai seorang
     sahabat.

  2. Doakan agar orang percaya bertindak lebih peka terhadap
     orang-orang di sekitar mereka, sehingga mereka dapat membantu dan
     menolong ketika orang-orang itu sedang menghadapi persoalan.

  3. Bersyukurlah karena kita memiliki Yesus sebagai Sahabat sejati,
     yang senantiasa menyertai dan menopang dalam setiap aspek
     kehidupan kita.
______________________________________________________________________
Pimpinan redaksi: Novita Yuniarti
Redaksi tamu: Truly Almendo Pasaribu
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org
Facebook KISAH: http://fb.sabda.org/kisah

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) Kisah 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org