Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/195

KISAH edisi 195 (11-10-2010)

Menabur Kasih Menuai Berkat

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                       Edisi 195, 11 Oktober 2010

PENGANTAR

  Shalom,

  Ada hal penting yang dapat kita pelajari dari kesaksian hidup HS,
  ketika membaca kisahnya dalam kesaksian di edisi kali ini.
  Bahwasanya Tuhan tidak harus menghindarkan kita dari semua masalah
  kehidupan. Sering kali, lewat masalah itulah kita akan dapat
  terhubung dengan suara-Nya walaupun gemanya sayup terdengar laksana
  bisikan. Ketika semuanya terasa aman lagi nyaman, justru sering kali
  kita akan kesulitan mendengarkan suara-Nya, padahal bisa jadi
  saat itu sebenarnya Allah sedang berteriak berusaha menarik
  perhatian kita.

  Kesaksian hidup HS juga dengan terang menunjukkan bahwa kalaupun
  kita sedang dirundung susah, sebenarnya akan selalu ada kesempatan
  dan kemungkinan bagi kita untuk membuat Allah tersenyum, dengan
  jalan menjadi berkat bagi orang lain. Selamat menikmati edisi kali
  ini! Tuhan memberkati!

  Redaksi tamu KISAH,
  Wilfrid Johansen
  http://kekal.sabda.org
  http://fb.sabda.org/kekal
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                      MENABUR KASIH MENUAI BERKAT

  Saya (HS) sering pergi ke Gunung Kawi untuk mencari "keselamatan"
  bagi seluruh keluarga besar kami. Sekalipun ketika kecil saya pernah
  mengikuti ibadah di gereja di daerah kadipaten bahkan pernah ikut
  memainkan sandiwara yang bernapaskan Kristen, namun saya tidak
  pernah memimpikan atau membayangkan untuk menjadi seorang Kristen
  atau pengikut Yesus. Pada 20 April 1977, saat saya sedang bekerja
  pada salah satu bank di Bandung, saya bertemu dengan seorang gadis,
  nasabah saya. Setelah berkenalan, kemudian pada tanggal 10 Oktober
  1977 saya melamarnya. Karena neneknya adalah seorang Kristen yang
  sangat taat, maka ia menghendaki supaya kami menikah di gereja.
  Tanggal 26 Februari 1978, demi cinta saya kepadanya, saya rela
  pernikahan kami diteguhkan di gereja, kemudian ketika istri saya
  sedang mengandung anak kami yang pertama barulah kami menikah resmi
  di catatan sipil.

  Sekalipun saya sering	menemani istri pergi ke gereja, tetapi hal itu
  hanyalah sekadar formalitas saja. Di balik itu, saya masih menjalani
  kehidupan malam yang penuh dengan judi dan pesta pora. Beberapa
  tahun kemudian. Setelah kami dikaruniai 2 orang anak yang lucu-lucu,
  mereka selalu kami bawa untuk beribadah ke gereja. Ketika anak saya
  yang pertama, Christina, berumur 4 tahun, ia pernah memohon kepada
  gurunya agar ikut mendoakan supaya ayahnya menerima Tuhan Yesus.
  Pada bulan Oktober 1990, seorang teman baik saya, Bapak Gunawan,
  memaksa saya mengikuti sebuah retreat bagi pasangan suami istri yang
  telah menikah 5 tahun atau lebih (Marriage Encounter). Meskipun pada
  mulanya saya tidak bersedia ikut acara itu, namun setelah beberapa
  hari mengikuti acara tersebut, saya dan istri dibimbing dan
  diajarkan bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara suami dan
  istri, hubungan antara orang tua dengan anak-anak, cara
  bermasyarakat, cara menghadapi para pembantu, mertua, dan yang
  terakhir kami juga diajarkan bagaimana cara berhubungan dengan
  Tuhan. Seorang pembimbing kami menyebutkan bahwa suami adalah kepala
  keluarga; dialah orang yang paling bertanggung jawab kepada Tuhan
  atas seluruh keluarganya. Bahkan jika seorang suami marah kepada
  istrinya tidak boleh dengan mulut tetapi harus dengan surat cinta.

  Pada saat pelajaran itu sedang berlangsung, isinya seakan-akan telah
  menuding hati saya dengan mengatakan bahwa selama ini diri saya
  adalah suami dan ayah yang tidak pernah bertanggung jawab. Pada
  kenyataannya, seluruh kriteria yang disebutkan dalam makalah
  tersebut tidak ada pada diri saya. Selain saya adalah seorang suami
  dan ayah yang sangat egois, hidup saya juga jauh dari jalan
  kebenaran dan tidak pernah memercayai adanya Tuhan. Dengan disertai
  linangan air mata, saya langsung menyerahkan hidup saya kepada Tuhan
  dan berjanji untuk berubah menjadi suami dan ayah yang baik.
  Keesokan harinya sepulang dari retreat itu, untuk pertama kalinya
  saya bergabung dalam gereja anak saya. Guru sekolah minggu anak saya
  menyambut dengan gembira dan mengatakan bahwa doa mereka telah
  dikabulkan oleh Tuhan. Pada tanggal 31 Desember 1990, saya
  menyerahkan diri untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru
  Selamat. Kemudian saya dibaptis.

  Sejak saat itu, usaha yang kami rintis di saat pernikahan kami,
  yaitu distribusi furnitur untuk seluruh Jawa Barat, asuransi
  kerugian, dan biro travel, berjalan dan berkembang dengan sangat
  pesat. Keadaan itu telah membuat saya menjadi seorang pengusaha yang
  diperhitungkan di kota Bandung. Teman-teman saya mulai menitipkan
  uang dengan jumlah yang sangat besar kepada saya, dan dikembalikan
  dengan bunga. Sebaliknya, saya memberikan pertolongan kepada teman
  lain dengan meminjamkan uang itu tanpa bunga sedikit pun. Mereka
  mengatakan bahwa perbuatan saya adalah sangat baik. Pada saat diri
  saya mulai dipuji dan disanjung, saya pun mulai menjadi sombong
  sehingga lupa diri dan melupakan Tuhan, bahkan tidak menyadari bahwa
  ternyata hal-hal yang saya lakukan adalah sebuah kebodohan saya
  sendiri.

  Tahun 1993, orang-orang yang menitipkan uang kepada saya bertambah
  banyak. Sungguh di luar dugaan. Jumlah dana yang dipinjamkan kepada
  saya ternyata sudah mencapai angka sekitar dua miliar rupiah.
  Sebaliknya, ketika orang-orang mulai datang mengambil dana-dana yang
  sudah jatuh tempo itu, saya tidak dapat membayar pinjaman-pinjaman
  itu berikut bunganya. Saya dan istri mulai memberanikan diri untuk
  membuka pembukuan kami kepada seluruh rekan-rekan saya. Setelah kami
  diaudit, ternyata jumlah hutang lebih banyak dari piutang yang ada
  di seluruh perusahaan kami. Bahkan seluruh aset tidak akan cukup
  untuk membayar seluruh hutang-hutang itu. Setelah saya menjual
  seluruh aset perusahaan dan pribadi, termasuk rumah dan mobil,
  ternyata hasilnya masih belum cukup untuk membayar hutang-hutang
  itu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak sanggup lagi
  membayar seluruh dana pinjaman tersebut hingga mereka marah dan
  mengirim tukang pukul untuk menagih kepada kami. Ketika saya
  mengalami intimidasi yang begitu dalam saya merasa bahwa semuanya
  sudah gelap. Saya merasa seolah-olah ada bisikan yang mengatakan
  bahwa hidup saya sudah tidak berharga lagi, saya sudah bangkrut dan
  tidak memunyai apa-apa lagi.

  Pada suatu ketika sekitar tengah malam, malam itu menjadi suatu
  malam yang teramat panjang dalam hidup saya, tanpa sepengetahuan
  istri dan anak-anak saya, tanpa membawa dompet dan benda apa pun,
  dengan hanya mengenakan sandal jepit, saya berangkat dengan berjalan
  kaki dari rumah yang saat itu berada di jalan Budi Sari menyusuri
  sepanjang jalan Gatot Subroto Bandung untuk melaksanakan niat bunuh
  diri dengan menabrakkan diri ke kendaraan yang sedang melintas di
  malam yang gelap.

  Pukul 2 pagi, saat saya sedang menunggu kendaraan yang tepat untuk
  saya menabrakkan diri, entah ada kekuatan dari mana datangnya yang
  mendorong saya untuk memasuki sebuah gedung gereja. Setelah saya
  berada di dalamnya, saya mulai tertegun dan sadar bahwa apa yang
  saya perbuat adalah salah. Beberapa saat lamanya saya
  berguling-guling di dalam gereja, saya sangat menyesali keputusan
  jalan pintas yang saya ambil itu. Dengan tulus hati, saya minta
  ampun kepada Tuhan, dan memohon agar Tuhan memberikan kekuatan
  sehingga saya sanggup memikul persoalan itu dan menghadapinya dengan
  iman yang teguh. Setelah lelah berguling akhirnya saya tertidur
  dengan pulas dalam gedung gereja. Baru sekitar pukul 4 pagi, ketika
  angin menghembusi tubuh saya, saya terbangun dan kembali ke rumah
  untuk bertemu dengan istri dan anak-anak tercinta. Sesampainya di
  rumah, istri dan anak saya ternyata sedang berdoa menanti kehadiran
  saya, dan saya kembali tertidur namun kali ini dengan perasaan yang
  amat tenang.

  Sejak hari itu, saya dan keluarga sungguh-sungguh mencari Tuhan
  dengan berdoa dan berpuasa. Walaupun ada kesempatan bagi kami untuk
  melarikan diri tetapi kami memutuskan untuk tetap bertahan, meskipun
  kami bisa memakai jasa pengacara, tetapi saya tetap konsekuen untuk
  membayarnya. Tuhan itu sangat baik terhadap kami sekeluarga.
  Sekalipun kami harus menjual seluruh harta yang kami miliki, namun
  Tuhan juga mengirim kawan-kawan saya untuk menolong kami terlepas
  dari hutang-hutang tersebut.

  Tahun 1996, kami menempati sebuah rumah kontrakan dalam keadaan
  finansial yang masih belum stabil dan masih ada beberapa cicilan
  hutang yang belum beres. Pada saat itu salah seorang saudara dari
  istri saya mengundang keluarga kami untuk mengunjungi Australia.
  Sebenarnya hati kecil saya mengatakan bahwa daripada mengeluarkan
  uang yang banyak untuk biaya perjalanan, lebih baik dana tersebut
  dikirim saja kepada kami untuk membayar hutang-hutang saya, namun
  akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Pada saat kami berada di
  Australia, ternyata bukan saja Tuhan yang ajaib itu menolong kami
  untuk pergi berlibur sekalipun masih dalam keadaan susah, tetapi
  saat itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan hidup kami
  sekeluarga. Saudara yang baik hati itu pun menawarkan diri untuk
  membiayai kuliah anak kami di Australia.

  Tahun 1998, masih dalam keadaan ekonomi yang belum stabil, seorang
  ibu menceritakan kepada saya bahwa ada seorang anak yang dibuang dan
  dimasukkan ke dalam sebuah kardus mi instan kemudian diletakkan
  begitu saja di tepi jalan. Ia bercerita lagi bahwa anak yang berumur
  sekitar dua setengah tahun itu matanya buta. Keberadaan anak itu
  sudah diumumkan di radio dan diberitakan di koran Pikiran Rakyat
  Bandung namun tidak ada seorang pun yang mau mengakuinya sebagai
  anak. Sebenarnya pada saat itu tidak terpikir bagi saya untuk
  memungut anak itu; jangankan mengurus orang lain, untuk membiayai
  keluarga saya sendiri saja saya masih sangat berkekurangan. Tetapi
  karena kami sekeluarga telah merasakan jamahan kasih yang luar biasa
  dari Tuhan, maka Tuhan memberikan kami hati yang teguh untuk
  menyalurkan kasih itu kepada orang lain. Seminggu setelah ibu
  tersebut menghubungi kami untuk pertama kalinya, ia kembali
  menghubungi saya dan mengatakan bahwa sampai hari itu tidak seorang
  pun yang mau memungut anak yang dititipkan di salah satu masjid di
  Bandung itu. Ibu itu lebih jauh menyarankan kepada saya agar saya
  mau melihatnya terlebih dulu.

  Ketika saya dan istri datang menengok anak itu, bukanlah maksud saya
  untuk merendahkan martabat seorang ciptaan Tuhan, tetapi anak itu
  persis seperti seekor anak monyet. Selain ukuran kepalanya yang
  besar dan kedua kakinya yang lumpuh, kedua matanya pun buta, bahkan
  dari dalam lobang hidungnya keluar daging tumbuh. Saat itu, kulitnya
  kasar dan sangat buruk karena tidak mandi selama berbulan-bulan,
  bahkan duduk saja tidak bisa apalagi untuk berjalan. Pada saat saya
  memberanikan diri untuk menggendong anak itu, tiba-tiba ia mencium
  leher saya. Dalam keraguan, saya berkata kepada istri saya bahwa
  seandainya anak itu normal, saya pasti sudah mengadopsinya saat itu
  juga. Tiba-tiba istri saya mengatakan sebuah kalimat yang
  mengejutkan hati saya. Ia berkata, jika kami ingin menolong
  seseorang, maka tidak boleh ada perkataan "Tetapi". Saat itu saya
  menceritakan peristiwa itu kepada anak saya di Australia. Seminggu
  kemudian Christina, putri saya, menelepon untuk menanyakan apakah
  anak itu sudah diambil. Lalu saya mengatakan bahwa anak itu pastilah
  akan menyusahkan kita, jadi tidak perlu dipikirkan lagi. Tetapi kali
  ini giliran putri saya yang mengatakan sebuah perkataan yang sungguh
  membuat hati saya terkejut. Dia mengatakan jika kami mengambil
  seorang anak yang normal, itu adalah hal yang biasa, tetapi jika
  kami berani mengambil anak yang cacat, maka itu adalah sesuatu yang
  sangat luar biasa di mata Tuhan. Siapa menaruh belas kasihan kepada
  orang yang lemah, maka dia memiutangi Tuhan.

  Sementara itu anak lelaki kami, Yogieh, yang baru duduk di kelas dua
  SMA, sekalipun ia belum melihat anak buangan itu, namun ia merengek
  dan meminta kepada saya supaya anak itu boleh tinggal selama
  seminggu di rumah kami. Meski sebenarnya hati saya menolak, tetapi
  pada tanggal 31 Juli, dengan perlahan ia mengatakan kepada saya
  apabila hati saya merasa damai, saya boleh mengambil anak itu,
  tetapi jika hati tidak merasa damai, maka jangan mengambil anak itu.
  Keesokan harinya, dengan hati yang diliputi damai sejahtera yang
  luar biasa, sesuai dengan permintaan anak saya, kami setuju untuk
  membawa anak itu untuk sementara, dengan catatan, apabila ia dapat
  dirawat, maka kami akan meneruskan merawatnya, tetapi jika tidak,
  anak itu akan dipulangkan kembali. Ternyata, ketika anak yang buta
  itu berada di rumah kami, anak saya segera menatapnya sambil
  menangis. Pikiran saya mengatakan bahwa pastilah hati anak saya
  sangat kecewa dan dalam hatinya pastilah menyalahkan saya sebagai
  ayahnya yang membawa anak semacam itu ke rumah kami. Ketika saya
  bertanya mengapa ia menangis, ia berkata bahwa ia bersyukur anak itu
  telah kami ambil, sebab sudah lebih dari 2 tahun tidak ada orang
  yang mau menghiraukannya. Pernyataan itu adalah sebuah konfirmasi
  yang membuat hati saya sangat bersukacita.

  Ketika anak itu berada di rumah kami, teman-teman mulai mencibir
  kami. Mereka mengatakan bahwa kami adalah orang yang tidak memunyai
  akal sehat. Mereka juga menambahkan bahwa bagaimana mungkin kami
  bisa mengatasi persoalan anak yang hampir mati itu, sedangkan
  keadaan ekonomi kami masih morat-marit. Dua minggu kemudian,
  sekalipun saya menyadari bahwa saya tidak tahu apa yang harus saya
  perbuat dengan kondisi anak itu, namun setelah kami berusaha
  memberikan yang terbaik dan dengan sungguh-sungguh mengasihi anak
  itu seperti mengasihi anak sendiri, Tuhan menolong kami. Teman-teman
  yang pernah melecehkan saya diubah Tuhan sehingga mau membantu kami
  merawat anak itu. Ada teman-teman yang lain yang mengirim susu
  hingga berlimpah-limpah. Saya sangat percaya bahwa Tuhan akan
  menjadikan anak itu bukan menjadi seorang peminta-minta tetapi
  menjadi alat-Nya bagi orang lain, dan Tuhan tidak akan membuatnya
  menjadi tukang pijit, tetapi menjadi seorang pemain piano.

  Ketika anak itu berada di rumah kami, saya hanya bisa merawatnya
  dengan kasih dari Tuhan. Empat bulan kemudian, ketika ia belum dapat
  buang air dengan normal, saya membawanya ke sebuah KKR. Setelah
  kami mendoakannya sambil menumpangkan tangan di atas perutnya, Tuhan
  menjamah perutnya sehingga langsung buang air besar dengan lancar.
  Sejak saat itu tidak ada lagi gangguan di dalam pencernaannya.
  Bertahun-tahun anak itu kami bawa ke dokter spesialis kelumpuhan
  namun tidak kunjung sembuh. Tetapi setelah kami doakan selam beberapa
  waktu kini ia sembuh dan sudah dapat berjalan dengan normal.
  Sekarang anak itu sudah bersekolah di SLB C Wiyata Guna Bandung.

  Bertahun-tahun saya sudah diproses oleh Tuhan. Secara manusiawi
  semua proses itu memang menyesakkan, bahkan sering kali saya merasa
  tidak sanggup menyelesaikannya dengan baik, namun Tuhan hanya
  menginginkan saya mengandalkan Dia dalam segala hal dan bukan
  mengandalkan kekuatan saya sendiri. Benih-benih kasih yang pernah
  kami tanam beberapa waktu lalu sekarang telah kami tuai dengan
  berbagai berkat dari Tuhan. Sejak bulan Oktober 2003 yang lalu,
  Tuhan telah memulihkan keadaan ekonomi keluarga kami, bahkan saat
  ini kami dibebaskan dari hutang. Terpujilah Tuhan!

  Diambil dari:
  Judul buletin: SUARA, Edisi 73, Tahun 2004
  Penulis: KM
  Penerbit: Yayasan Persekutuan Usahawan Injili Sepenuhnya
            Internasional (PUISI), Jakarta
  Halaman: 3 -- 8
______________________________________________________________________

  Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya.
  Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya.
  Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak
  terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu
  keselamatan jiwamu. (1 Petrus 1:8-9)
  < http://alkitab.sabda.org/?1Petrus+1:8-9 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Bersyukur untuk keluarga HS yang telah memperoleh karunia
     keselamatan dalam keluarganya. Doakan agar keluarga HS selain
     menjadi keluarga Kristen yang taat dan setia pada Yesus juga
     dapat memancarkan terang-Nya di lingkungan mereka.

  2. Berdoa untuk setiap keluarga yang sedang mengalami permasalahan,
     baik dalam ekonomi maupun hubungan dengan keluarga, kiranya
     mereka tetap mengandalkan Tuhan dalam menyelesaikan permasalahan
     hidup mereka, dan bukan mengandalkan kekuatan mereka sendiri.

  3. Doakan para orang tua agar mereka lebih bertanggungjawab dan
     selalu menyayangi anak mereka. Doakan bagi anak-anak yang
     ditelantarkan oleh orang tuanya, kiranya banyak orang yang
     membuka hati untuk merawatnya dengan kasih Tuhan.

  4. Doakan anak yang telah diadopsi oleh HS agar keinginan keluarga
     mereka agar ia kelak dapat menjadi alat-Nya bagi orang lain boleh
     dikabulkan oleh Tuhan. Doakan agar kelak ia bertumbuh dengan
     pengajaran yang benar di dalam Tuhan.
______________________________________________________________________
Pimpinan redaksi: Novita Yuniarti
Kontributor: Wilfrid Johansen

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/kisah
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org
Facebook KISAH: http://fb.sabda.org/kisah
Twitter KISAH: http://twitter.com/sabdakisah

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright (c) 2010 Kisah / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org