Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/203

KISAH edisi 203 (6-12-2010)

Paman Max yang Kikir

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                     Edisi 203, 6 Desember 2010

PENGANTAR

  Shalom,

  Jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya. Begitu mungkin salah
  satu hikmah yang bisa kita dapatkan seusai membaca kesaksian "Paman
  Max Yang Kikir" pada publikasi KISAH edisi kali ini. Hikmah lain
  yang mungkin bisa kita dapatkan adalah bahwa kasih itu memberi;
  kasih perlu diekspresikan dalam tindakan.

  Bertepatan dengan hari Natal yang sudah mendekat, mungkin saat
  inilah waktu yang pas untuk merenungkan -- tindakan kasih apakah
  yang dapat kita tunjukkan kepada orang lain pada momen Natal kali
  ini? Hal ini layak untuk dipikirkan dan ditindaklanjuti mengingat
  pada momen Natal, Allah sendiri telah menunjukkan tindakan kasih-Nya
  bagi kita dengan cara mengutus Putra Tunggal-Nya berinkarnasi ke
  dunia fana.

  Selamat menikmati sajian publikasi Kisah edisi kali ini. Tuhan
  memberkati.

  Redaksi tamu KISAH,
  Wilfrid Johansen
  http://kekal.sabda.org
  http://fb.sabda.org/kisah
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                       PAMAN MAX YANG KIKIR

  Ketika berusia sebelas tahun saya merasa Paman Max (dilafalkan "Mox"
  di keluarga kami) adalah orang teraneh yang pernah ada. Max
  Maegdefessel menikah dengan Bibi Gustie sejak zaman dahulu kala dan
  ia bukanlah paman favorit saya. Mungkin penyebabnya adalah karena
  karena foto dirinya sebagai tentara Prusia yang dipajang di rumah
  mereka. Dengan kumis, jenggot, rambut abu-abunya yang terpotong
  cepak, ia terlihat seperti seorang pemimpin tentara musuh yang
  memimpin tentaranya untuk menghancurkan lawan dalam peperangan.
  Atau, mungkin karena saya terlalu sering dipaksa menonton
  Gesangverein karya Richard Wagner, yang beberapa pemainnya sangat
  mirip dengan Paman Max. Mereka berdiri bersama di panggung sambil
  menyemprotkan ludah, meneriakkan lagu-lagu yang terdengar sangat
  bodoh di telinga saya.

  Tetapi, yang paling menyebalkan dari diri paman Max adalah sifat
  kikirnya. Ketika kami berkunjung ke rumah Bibi Gustie di hari Natal
  dan menyanyikan lagu-lagu Natal di sekeliling Tannenbaum (pohon
  Natal) yang bertaburkan cahaya lilin, saya tahu bahwa Paman Max
  telah pergi ke penjual pohon cemara pagi itu untuk membeli pohon
  yang tersisa. Biasanya ia dapat membeli pohon hanya dengan membayar
  satu koin. Hadiah untuk kami adalah cokelat berbentuk koin yang
  dibungkus dengan kertas emas, yang jika dinilai dari rasanya yang
  aneh, mungkin telah dibeli setidaknya satu tahun yang lalu setelah
  diskon Natal.

  Tetapi, Paman Max juga memiliki sebuah keterampilan. Ia adalah
  seorang pandai besi. Karena tidak memiliki pekerjaan ketika masa
  depresi, ia membuat berbagai benda sesuai pesanan. Benda-benda
  tersebut meliputi alat-alat seperti spiral yang terbuat dari pipa
  tembaga, yang katanya ada hubungannya dengan larangan untuk merokok
  di Amerika. Ia pun pernah membuat sebuah patung kecil berbentuk
  bintang untuk grup Eastern Star yang diikuti oleh istrinya. Saya dan
  kedua kakak laki-laki saya adakalanya mengendap-endap ke ruang bawah
  tanah yang bau asap rokok untuk melihat ia bekerja. Ia menggunakan
  celemek dari kulit, kacamata bulatnya yang memantulkan lampu meja,
  dan berbagai alat seperti palu dan tatakan. Sepertinya tidak ada
  lagi yang ia perhatikan selain pekerjaannya.

  Pada hari Natal yang berbarengan dengan ulang tahun pernikahan ke-15
  orang tua saya, Paman Max dan Bibi Gustie datang berkunjung. Di
  malam sebelum Natal, setelah makan malam besar dan kebaktian, saya
  dan saudara-saudara saya mulai menyanyikan lagu-lagu Natal, lalu
  kami bergegas membuka hadiah-hadiah. Setelah itu, Paman Max berkata
  bahwa ia memiliki hadiah bagi orang tua saya. Prosesi pemberian
  hadiah dilakukan dengan ritual megah, termasuk sebuah lagu yang ia
  nyanyikan. Saya tidak berani duduk tepat di hadapannya. Kemudian ia
  mempersembahkan hadiah tersebut kepada ibu saya. Ibu membuka kotak
  hadiah tersebut, mengeluarkan sebuah tas kain, membuka tali
  pengikatnya, kemudian mengeluarkan sebuah poci teh dari perak. Saat
  itu saya dan segenap keluarga hanya bisa terperangah melihat poci
  tersebut.

  Kami mengagumi hadiah tersebut, poci yang halus tersebut tampak
  berkilauan diterpa cahaya pohon Natal. Ketika Ibu dan Bibi masuk ke
  dapur untuk mencuci piring, Ayah dan paman duduk di kursi untuk
  berbincang-bincang. Saya meninggalkan mainan kereta yang sedang saya
  mainkan dan bergegas pergi ke arah rak kayu untuk melihat poci teh
  pemberian paman tersebut diletakkan. Bentuknya persegi enam. Tempat
  air, corong, dan pegangannya masing-masing dihiasi oleh enam keping
  uang logam. Saya sadar bahwa Paman Max pasti harus mempersiapkan
  bentuk khusus untuk setiap bagian poci tersebut. Ia harus memastikan
  bahwa setiap bagian yang dihiasi uang logam harus dibentuk dengan
  tepat, kemudian secara hati-hati disambung-sambungkan agar poci
  tersebut terlihat dibentuk dari sebongkah perak utuh.

  Saya melirik ke Paman Max, yang sekarang telah mendengkur lembut di
  kursinya. Saya yakin ia pasti menghabiskan waktu berminggu-minggu
  untuk mengerjakan poci tersebut. Ia pasti harus menyisihkan waktunya
  yang berharga di antara berbagai pesanan alat penguap, trompet,
  maupun benda-benda lainnya. Saya memperoleh pelajaran yang berharga
  malam itu. Paman Max dan Bibi Gustie dengan cara mereka sendiri
  telah berhasil memberikan hadiah kepada orang lain dan meluangkan
  waktu mereka, sekalipun paman sudah tidak memiliki pekerjaan selama
  beberapa tahun. Dan paman Max melakukannya dengan satu-satunya cara
  yang ia tahu: menabung, mencari diskon, dan ya... mencari pohon
  Natal sisa.

  Saya merasa malu sendiri saat melihat Paman Max. Cahaya api terlihat
  berkerlap-kerlip pada rantai jam di perutnya yang naik turun karena
  dengkurannya yang damai. Walaupun ia telah lama tiada, tetapi
  kenangan akan Paman Max masih tetap ada bersama poci teh yang
  tersimpan di lemari ibu, mengingatkan saya pada hal-hal terpenting,
  tentang kebahagiaan yang sederhana, dari hadiah buatan sendiri yang
  diberikan oleh seseorang yang rela berkorban. Tetapi, terlebih
  penting lagi, ia mengingatkan saya kepada Kristus yang perayaan
  kelahiran-Nya mengingatkan kita untuk "Berhenti menilai seseorang
  dari penampilannya."

  Diambil dari:
  Judul buku: Guideposts Bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Natal
  Judul asli buku: Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of
                   Faith
  Penulis: Richard H. Schneider
  Penerjemah: Mary N. Rondonuwu
  Penerbit: Gospel Press Batam, 2006
  Halaman: 13 -- 17
______________________________________________________________________

  "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang
  anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" -- yang
  berarti: Allah menyertai kita. (Matius 1:23)
  < http://alkitab.sabda.org/?Matius+1:23 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga
     dalam perkara-perkara besar. Bersyukur atas pengalaman paman Max
     yang telah memberikan inspirasi untuk kita agar tetap setia dalam
     segala perkara.

  2. Berdoa untuk setiap orang yang sedang bergumul dan bertekun dalam
     mengerjakan suatu hal. Doakan agar mereka tetap berpengharapan
     dalam Tuhan Yesus dan apa yang menjadi pergumulan mereka segera
     dapat dijawab.

  3. Berdoa agar setiap kita mempunyai cara pandang seperti cara
     pandang Yesus, sehingga kita tidak menilai orang lain hanya
     berdasar pada penampilan luarnya saja.
______________________________________________________________________
Pimpinan redaksi: Novita Yuniarti
Redaksi tamu: Wilfrid Johansen
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/kisah
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org
Facebook KISAH: http://fb.sabda.org/kisah
Twitter KISAH: http://twitter.com/sabdakisah

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org

Anda terdaftar dengan alamat email: $subst(`Recip.EmailAddr`)
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright (c) 2010 Kisah / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org