Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/242

KISAH edisi 242 (14-9-2011)

Berkat Tuhan, Anakku Sembuh!

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 242, 14 September 2011

Shalom,

Terkadang, permasalahan dalam hidup datang silih berganti dan tidak
pernah habis. Rasa kecewa dan putus asa sering kali mendera kita, di
mana saat batas kekuatan kita mulai menipis. Protes kepada Tuhan pun
tidak terlewatkan, kita menganggap Tuhan tidak adil dengan keadaan
yang terjadi. Dan, kita mulai mengandalkan kekuatan kita sendiri.

Seperti yang dikisahkan dalam kesaksian edisi kali ini. Banyak orang
menganggap bahwa Melisa tidak memunyai harapan untuk dapat berbicara
kembali. Segala macam usaha sudah dilakukan. Biaya, tenaga, waktu dan
pikiran semuanya sudah terkuras habis. Harapan pun sudah mulai
tenggelam. Akan tetapi, ketika orang tua Melisa berserah penuh kepada
Tuhan, mukjizat pun dinyatakan. Seperti apa kisah selengkapnya?
Silakan simak kisahnya berikut ini.

Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

Redaksi Tamu KISAH,
Yonathan Sigit
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                      BERKAT TUHAN, ANAKKU SEMBUH!

Suatu ketika, saya memanggil Melisa (yang pada waktu itu berumur 1
tahun), ia tidak memberikan respons. Melisa diam saja tak bergeming.
Kondisi ini lalu saya ceritakan pada teman-teman dan tanggapan mereka
sama, "Bu J, cepat periksakan saja Melisa ke dokter THT."

Saya menurut. Satu demi satu dokter THT yang ada di Bogor saya
datangi, namun hingga diperiksa empat dokter, kondisi anak saya yang
sebenarnya belum juga dapat diketahui. Saya semakin curiga. Karena
itu, ketika ada orang menyarankan agar saya membawa Melisa ke Dokter
"HH" di Jakarta -- satu-satunya dokter praktik yang memunyai alat
canggih untuk tes bisu-tuli yang disebut tes "Bera", saya mengiyakan
saja.

Pertama kali mengunjungi tempat praktik Dokter HH, Melisa tidak bisa
langsung diperiksa. Dokter bilang, besok kami harus datang lagi dan
untuk keperluan tes "Bera" ini, anak saya harus terlebih dahulu
menjalani puasa. Esoknya tes berjalan lancar dan 2 hari kemudian
hasilnya keluar. Namun ketika hasil tes keluar, saya betul-betul
terperanjat. Dokter mengatakan, tes "Bera" anak saya menunjukkan angka
100 decibels, dan ini berarti ia bakal mengalami-bisu tuli total
seumur hidup!

Saya gemetar. Dengan spontan saya tanyakan ke dokter, "Dok, kenapa
anak saya bisa begini?"

"Ah, kalau Tuhan sudah bikin begitu, mana mungkin bisa sembuh?" kata
dokter dengan nada dingin.

Saya terkejut mendengar jawaban dokter. Karena itu saya berkata lagi,
"Dokter, apa benar anak saya tidak bisa sembuh?"

"Meski uang Ibu setinggi gunung, tak mungkin ada orang yang bisa
menyembuhkan anak Ibu," jawab dokter itu lagi.

Saya tak bisa lagi menahan tangis mendengar jawaban dokter. "Lalu
bagaimana, Dokter," ratap saya.

"Dimasukkan saja ke sekolah, Bu, agar nantinya tidak bergantung pada
orang lain," jawabnya enteng.

"Dok, anak saya baru berusia setahun. Lalu, bisa disekolahkan di
mana?" tanya saya lagi.

"Wah, Bu, sekarang ini sekolah untuk anak bisu dan tuli sudah banyak,"
kata dokter itu.

Saya langsung pulang dengan perasaan jengkel. Di sepanjang perjalanan
saya terus menangis. Tiba di rumah, isak saya semakin menjadi-jadi.
Saya guling-guling, menjerit-jerit sambil memprotes Tuhan, "Tuhan,
mengapa Kau beri saya cobaan begitu berat? Apa salah saya, Tuhan? Saya
toh, tidak jahat kepada orang lain. Mengapa?"

Hari-hari setelah jatuh vonis bahwa Melisa positif tuli, saya sudah
tak memedulikan apa pun. Di mana pun ada informasi mengenai orang yang
bisa menyembuhkan Melisa, maka saya pun akan mendatangi tempat itu.
Saya datang ke tukang urut di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang konon
bisa menyembuhkan segala penyakit. Untuk tuli katanya hanya cukup urut
10 kali. Namun, setelah saya coba 10 kali, bahkan sampai 20 kali,
ternyata tak ada perubahan apa-apa.

Berikutnya saya datangi ahli urut di Bandung yang memegang lisensi
dari Kanada secara berulang-ulang, namun hasilnya nihil. Dalam
tayangan sebuah stasiun televisi swasta saya mendengar ada seorang
tokoh agama yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Dia membuka
praktiknya di lapangan terbuka dan saya pun ke sana. Saya ikut antre
berdesakan sampai pukul 24.00 agar anak saya bisa dijamah sebagaimana
yang dipersyaratkan oleh pengikut si Tabib. Tapi sekali lagi, meskipun
segala syarat sudah saya penuhi, hasilnya setali tiga uang: Melisa
tetap saja tak mampu mendengar sapaan kami.

Setelah peristiwa itu, kami tetap berusaha. Di mana pun ada orang
memberi tahu ada orang sakti, mereka pasti kami datangi. Saya bahkan
berkata, "Kalau betul ada orang yang bisa menyembuhkan anak saya, toko
kami akan kami jual dan uangnya semua akan saya berikan ke dia. Tidak
masalah jika harus memulai lagi usaha dari nol, yang penting anak saya
sembuh!"

Karena belum puas terhadap hasil tes "Bera", -- bahkan berharap tes
itu salah -- saya pun kembali memeriksakan Melisa ke RS SC. Ternyata
hasilnya sama saja: Melisa memang mengidap bisu-tuli total. Walau
begitu, saya tetap tak menyerah. Untuk yang kesekian kalinya, Melisa
saya bawa lagi ke seorang dokter yang sekaligus ahli tusuk jarum. Saya
datang ke sana dan kemudian saya ceritakan kondisi anak saya apa
adanya. Setelah saya selesai bicara, dokter itu mengatakan, "Ibu,
kalau saya mau terima duit Ibu bisa saja. Namun, karena saya sudah
terikat sumpah dokter, saya tidak mau mengambil uang Ibu begitu saja.
Coba bawa saja anak Ibu ke RS "P", di sana nanti ada tenaga ahli yang
mengajari anak Ibu bicara."

Saya puas dengan penjelasan dokter, sekalipun anak saya tidak
diperiksa. Baru kali ini ada dokter yang begitu sejuk kata-katanya,
dan hal itu membuat saya mulai bisa menerima keadaan. "Oh, ternyata
masih ada orang yang kasihan pada saya," begitu pikir saya. Hari
berikutnya saya datang ke RS "P" sebagaimana yang dinasihatkan dokter,
tapi setelah anak saya dilihat, lagi-lagi kekecewaan saya tuai. "Wah,
anak seperti ini, saya sudah kapok mengajar anak yang seperti ini,"
begitu kata penguji dari RS "P".

Kini, sudah tak ada lagi sekolah di Bogor yang sanggup menerima anak
saya. Maka, mau tidak mau, Melisa harus sekolah "Play Group" di
Jakarta. Tahun 1992, Melisa akhirnya diterima di Sekolah SR di Jakarta
-- sekolah yang terkenal sangat baik dalam mendidik anak bisu-tuli.
Selama 2 tahun, pengantaran Melisa dilakukan secara bergantian. Karena
kami melaju, maka kalau saya yang jaga toko, suamilah yang
mengantarkan, demikian sebaliknya. Lulus dari SR 1994, Melisa masih
belum mampu bicara. Jangankan bicara, tiup lilin saat ulang tahun saja
ia tak bisa karena memang tak ada udara yang keluar.

Melihat perkembangan Melisa yang belum juga menunjukkan ada
tanda-tanda kemajuan, saya semakin terpacu untuk mencari sekolah yang
terbaik agar ia bisa bicara. Kami dengar, SLB PL yang ada di
Kembangan, Jakarta Barat, adalah sekolah terbaik di Asia untuk
anak-anak seperti Melisa. Sekolah ini selain terkenal sangat baik,
juga biayanya sangat mahal. Tapi syukurlah, Bruder kepala terketuk
hatinya melihat kesungguhan saya dalam mendampingi Melisa, sehingga
anak saya bisa diterima tanpa harus tes dan juga dengan biaya yang
jauh di bawah standar yang semestinya.

Di SLB PL, Melisa diajari bicara pakai kaca. Karena metodenya sangat
bagus, lama-lama Melisa bisa bicara, sekalipun masih dengan suara
dalam. Namun dalam perkembangannya, saya cukup kaget dengan laporan
yang diberikan oleh guru Melisa. Ia bilang, kalau Melisa suaranya
sudah rusak, pecah, jadi tak bisa diperbaiki. "Aduh, Bu, tolonglah.
Masa saya sudah jauh-jauh menyekolahkan anak, sudah habis biaya,
waktu, tenaga, dan pikiran tapi tidak ada hasil. Ibu, bagaimana kalau
Ibu memberikan les kepada anak saya?" pinta saya. Entah karena terikat
oleh etika, Ibu guru itu menolak. Saya bilang, "Kalau memang tidak
mau, ya tidak masalah. Saya akan berdoa dan meminta terus sama Tuhan,
biar suara Melisa diubah."

Ketika mengalami pergumulan berat sebagaimana yang saya ceritakan di
atas, saya sendiri sebenarnya sudah ke gereja. Namun, harus diakui
Kristen saya masih Kristen KTP -- fisiknya ke gereja, tapi hidupnya
masih mengandalkan kekuatan sendiri. Sementara suami saya, masih belum
Kristen.

Tahun 1996, ujian hidup menerpa lagi. Toko kami kebakaran. Saya
betul-betul stres. Anak sekolah di Jakarta, toko kebakaran, dapat
tempat penampungan tapi diteror. Wah, pokoknya berat sekali. Karena
itu, ketika kakak ipar saya mengajak saya untuk hadir di gerejanya,
saya pun selalu menolak. Demikian juga saat ia memberitahukan bahwa
akan ada ibu-ibu gereja yang datang ke rumah, saya pun sudah bertekad
untuk tidak membukakan pintu bagi mereka. Namun, Tuhan memang ajaib.
Sekalipun saya sudah bertetap hati untuk menolak mereka, tapi
pertemuan yang tak terduga masih dimungkinkan. Ceritanya, waktu saya
pulang dari toko, ibu-ibu gereja yang jumlahnya sekitar 4 orang
datang. Karena kepepet, sekalipun jengkel, mau tak mau mereka saya
persilakan masuk.

Setelah duduk, mereka menanyakan banyak pertanyaan kepada saya. "Sudah
kenal Tuhan, belum? Apakah Ibu suka berdoa untuk Melisa?" ujar salah
seorang di antaranya, sembari menyebut nama Melisa. Mereka rupanya
sudah akrab dengan Melisa karena memang Melisa sering diajak berbakti
oleh kakak ipar saya, dan bahkan didoakan oleh hamba-hamba Tuhan di
sana. Dengan jengkel pertanyaan itu saya jawab, "Saya sudah kenal
Tuhan. Setiap hari saya sudah mendoakan anak saya. Saya sudah putus
asa karena Tuhan tidak menjawab doa saya."

"Tapi masalahnya, Tuhan mana yang Ibu sembah?" cecar mereka. "Yah,
pokoknya Tuhan." jawab saya. Mereka lalu berdoa untuk saya dan
sekaligus mengundang saya untuk datang ke gerejanya. "Cobalah
sekali-kali ke gereja, siapa tahu Tuhan jamah," begitu bujuk mereka.
Saya sendiri karena sudah putus asa, akhirnya nurut saja.

Hari Minggu saya datang ke gereja bersama kakak ipar. Saya sendiri
tidak paham, tapi begitu masuk gedung kebaktian, saya merasakan
sesuatu yang belum pernah saya alami. Sepanjang kebaktian, saya
menangis di hadapan Tuhan sambil berkata, "Tuhan ampunilah saya. Tuhan
mengapa anak saya begini?" Sejak itu saya mulai rutin ke gereja.
Lantaran merasa mendapat berkat, saya mengajak suami saya untuk ikut
berbakti. "Cobalah kamu datang ke gereja," kata saya. Tetapi saat itu
suami saya sedang kalut sehingga ketika saya mengajaknya dia berkata,
"Kalau Tuhan memberikan uang sekarang, tidak perlu tunggu besok,
sekarang pun saya akan datang ke gereja. Kalau tidak memberikan uang,
untuk apa?"

Saya pun terus membujuknya, tapi ia tetap tidak mau datang ke gereja.
Suami saya tetap bingung dengan masalahnya. Tokonya kebakaran, dapat
kios baru tapi terus-menerus diteror. Toko hendak dijual tak ada yang
membeli. Sudah melapor ke pihak keamanan walau ada di pihak yang
benar, tetap saja masalah tak bisa selesai. Wah, pokoknya kalut.
Lama-lama, karena masalah bertumpuk dan tak ada jalan keluar, suami
saya menyadari keterbatasannya. Ia lalu mulai mengingat nasihat saya.
Suatu kali, diantar kakak ipar, suami saya pergi ke gereja. Di sana ia
bertobat dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Yang
luar biasa, tiba-tiba kios yang sulit dijual itu langsung laku. Kami
sungguh bersyukur atas kebaikan Tuhan ini. Setelah sebulan lebih ke
gereja, suami saya bilang, "Saya mau baptis."

Saya masih ragu-ragu karena suami saya baru sebulan pergi ke gereja
dan tiba-tiba minta dibaptis. Saya berkata kepada dia, "Kamu jangan
baptis dulu, ke gereja tidak dibaptis dulu tidak masalah. Nanti kalau
kamu sudah mantap, baru minta baptis." "Tidak! Saya sudah mantap. Saya
mau dibaptis," jawab suami saya. Akhirnya, saya dan suami dibaptis,
sekaligus dalam kesempatan itu kami melakukan penyerahan anak. Kami
juga diteguhkan oleh Firman yang disampaikan oleh hamba-Nya, bahwa
jika kami ingin mengalami mukjizat untuk anak kami, maka kami harus
terlebih dahulu beriman. Sejak saat itu, saya dan suami tidak pernah
lelah berdoa.

Suatu ketika, Tuhan betul-betul mengubah suara Melisa. Teman-teman
saya, yang tak lain para orang tua teman Melisa juga heran. Demikian
juga guru Melisa tak kalah kagumnya. "Ibu, Melisa les di mana?" tanya
guru Melisa pada saya.

"Lho, Melisa tidak les di mana-mana, kok. Waktu itu, Ibu sendiri kan
yang tidak mau memberikan les kepada Melisa?" jawab saya. "Tapi,
sekarang suara Melisa kok bisa bagus, ya?" tanya guru itu heran.

"Tuhan Bu, yang mengubah suara Melisa. Tuhan dengar doa saya," begitu
kata saya sambil bersaksi.

Tidak hanya itu, di gereja Melisa juga pernah diminta untuk bersaksi
oleh Bapak Pendeta. Walau suaranya belum jelas betul, tapi ia bisa
mengucapkan "Doa Bapa Kami", doa yang secara rutin diajarkan di
sekolah Melisa.

Sekarang, saya merasa lebih tenang dan bisa berdoa dengan penuh iman
bersama suami. Namun, karena sejak Melisa masuk SLB PL, saya dan suami
harus berpisah. Saya kos di Jakarta dan suami di Bogor. Setiap Jumat
sore saya baru kembali ke Bogor. Naik bis, bawa anak, bawa barang
berdesak-desakan, dan semua ini membuat saya merasa stres. Karena itu,
saya selalu berlutut pada Tuhan dan berdoa, "Tuhan, kapan anak saya
bisa sekolah normal dan saya bisa bersatu lagi dengan keluarga? Tuhan,
saya lelah, saya tidak sanggup."

Mei 1998 Jakarta kerusuhan. Pagi itu, guru-guru mengingatkan pada
saya, "Mama Melisa, sebelum pukul 10.00, Anda harus pergi. Kalau sudah
pukul 10.00, sangat bahaya. Pokoknya harus pulang dengan cara apa
pun!" Tuhan sungguh baik, sekalipun waktu itu tidak ada angkutan yang
beroperasi, Tuhan sudah menyediakan orang-orang yang menolong,
sehingga saya dan Melisa bisa tiba di Bogor dengan selamat.

Pasca kerusuhan, saya tidak mau lagi membawa Melisa ke Jakarta. Itulah
sebabnya, saya berusaha keras untuk mencarikan sekolah umum yang mau
menerima Melisa. Ada beberapa sekolah yang kami hubungi, namun mereka
menolak. Ada sebuah sekolah yang termasuk sekolah favorit di Bogor,
ketika saya datang bersama Melisa, kepala sekolah nampaknya sudah
pesimis. Dia bilang, anak saya harus tes dulu. Kami sepakat. Pada hari
yang ditentukan, tepat pukul 09.00 Melisa mengerjakan tesnya. Ada 5
orang yang di tes waktu itu. Anehnya, Melisa keluar lebih dulu. Saya
sendiri langsung mendatangi Melisa dan langsung saya tanya, "Kamu bisa
tidak, Sayang? Kok, yang lain belum keluar?"

"Bisa," jawab Melisa singkat. Ucapan Melisa ternyata benar, ia bisa
mengerjakan tesnya dengan nilai yang sangat memuaskan! Guru yang
mengujinya juga terkagum-kagum, katanya, "Kamu benar-benar hebat. Saya
pikir kamu tidak bisa."

Setelah lolos tes, Melisa langsung duduk di kelas 2. Sekarang Melisa
sudah kelas 4. Prestasinya sangat mengagumkan dan selalu masuk urutan
lima besar di sekolahnya. Luar biasa. Tentang prestasinya ini, Melisa
mengatakan, "Setiap malam Melisa selalu berdoa."

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: 10 Mukjizat yang Terjadi pada Orang Biasa
Judul asli artikel: Tuhan Buat Anakku Sembuh dari Bisu Tuli dan Berprestasi
Penulis: Basuki, Lasri Yuliana, dan Cacuk Wibisono
Penerbit: Yayasan Cahaya Bagi Negeri Indonesia, Jakarta 2001
Halaman: 59 -- 67

POKOK DOA

1. Doakan agar Melisa senantiasa memuliakan Tuhan lewat prestasi dan
kesaksian hidupnya.

2. Doakan agar para orang tua yang dikaruniai anak memunyai kebutuhan
khusus oleh Tuhan tidak kecewa, putus asa, dan menyalahkan Tuhan,
melainkan senantiasa berharap kepada pertolongan Tuhan.

3. Doakan agar saudara-saudara seiman yang terpanggil untuk melayani
orang-orang yang mengalami kelainan fisik atau mental di rumah sakit,
sekolah luar biasa, maupun panti rehabilitasi, senantiasa dikuatkan
dalam Tuhan dan menjadi saluran berkat bagi mereka.

"Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya
dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang
letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar
seperti seorang murid." (Yesaya 50:4)
< http://alkitab.sabda.org/?Yesaya+50:4 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org