Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/245

KISAH edisi 245 (5-10-2011)

Datanglah, Meski Kau Berdusta

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                     Edisi 245, 5 Oktober 2011

Shalom,

Dalam hidup ini, Tuhan mengizinkan kita untuk hidup berdampingan
dengan bermacam-macam orang yang memiliki karakter berbeda-beda.
Sering kali, kita tidak dapat memilih orang dengan karakter seperti
yang bisa berhubungan dengan kita. Sebagai orang percaya, apa sikap
kita apabila Tuhan mengizinkan kita berhadapan dengan orang yang
memiliki karakter tidak baik dan kerap kali menyusahkan kita? Akankah
kita memilih untuk tidak memedulikan mereka?

Mari kita bertanya pada diri sendiri, "Apa yang akan Yesus lakukan
jika Dia berhadapan dengan orang-orang seperti itu?" Ketika kita
melembutkan hati dan meminta Tuhan memampukan untuk mengasihi sesama
seperti yang Yesus lakukan, maka Tuhan pun akan menolong kita untuk
sanggup menerima orang-orang yang membutuhkan kasih dari kita.

Tuhan Yesus memberkati.

Redaksi tamu KISAH,
Davida Dana
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                     DATANGLAH, MESKI KAU BERDUSTA

Anda yang tinggal di ibukota ini, mungkin juga pernah menjumpai dia.
Berjalan dengan langkah hati-hati bagaikan orang yang baru saja sembuh
setelah patah kaki, dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang mirip
Pandito Dorna dari dunia pewayangan, bukan mustahil bisa membangkitkan
rasa sebal ketika kita melihatnya. Bicaranya pun sulit dipahami; sama
sulitnya seperti mencoba mengerti orang yang berbicara dalam bahasa
yang tidak kita mengerti.

Sifatnya tidak bisa dibanggakan. Ia sangat cinta uang dan sekalipun
berperawakan pendek, ia selalu membanggakan diri memunyai 3 orang
istri! Malah (katanya), masih banyak lagi yang mengejar dia pada usia
yang lebih setengah abad ini, kendati dia buta huruf.

Namanya singkat saja: Pak Amat.

Telah lebih 2 tahun aku tak jumpa dengannya, sejak berhenti bekerja di
kantor swasta tempat ia menjadi pesuruh. Kami berjumpa di jalan ketika
ia memanggil-manggil namaku. Ia merengek-rengek agar diberikan
pekerjaan apa saja karena ia sekarang menganggur. Tidak dijelaskannya
apakah dia diberhentikan atau minta berhenti. Karena aku memang butuh
bantuannya untuk mengurusi beberapa surat pribadi, kusuruh dia datang
ke rumah.

Ternyata, sifat jeleknya yang dulu sudah terkenal di kantor, muncul
lagi. Ia punya dua kebiasaan yang sangat kubenci: pembohong dan cinta
uang.

Begitu dia kembali menyelesaikan tugas mengantar surat, dia sudah
berbohong. Kebohongannya sama juga seperti yang dulu selalu
dilakukannya di kantor apabila diberi "tugas luar". Dia mengatakan
bahwa uang kembalian bis dicopet orang. Padahal karena tak ada uang
kecil, sewaktu pergi terpaksa kuserahkan Rp. 1.000,00 [pada tahun
ketika kesaksian ini ditulis, Rp 1.000,00 merupakan jumlah uang yang
cukup besar, Red.].

Dengan muka masam, kusuruh dia pulang. Kuberikan sekadar honor, dan
kutambahkan, "Jangan datang-datang lagi, Pak Amat. Saya sering tidak
di rumah." Ia tak berani menatap mataku ketika pamit.

Dan sekarang, baru seminggu kemudian, ia sudah muncul lagi. Begitu
melangkah masuk ke dalam rumahku, dari mulutnya sudah terlontar
kebohongan lagi. Juga kebohongan yang sama, bahwa anaknya tadi malam
mati.

Aku tidak menanggapi berita ini karena dulu pun saat masih di kantor,
setiap 2 atau 3 bulan ada saja yang dikabarkannya mati. Nenek, kakek,
keponakan, istri, anak, cucu, dan entah apalagi -- sekadar
mengharapkan "uang sumbangan". Rasa sebalku semakin menjadi.

"Pulang saja, Pak Amat. Saya tidak punya sesuatu buat Pak Amat
kerjakan, dan kebetulan saya sedang tidak punya uang."

"Tidak apa-apa. Biar saya cuci-cuci saja. Soal uang, tidak usah sebut;
saya mengerti."

"Omong kosong!" cetusku dalam hati.

Selama beberapa jam berikutnya, Pak Amat sibuk membersihkan seluruh
rumah, termasuk piring-piring dan pakaian. Aku pasif saja, namun
hatiku cukup gelisah: berapa yang nanti diharapkannya dari padaku?
Padahal uangku benar-benar tinggal sedikit.

Akhirnya, ia pun pamit, dan aku tersipu-sipu cuma bisa menyodorkan
uang Rp 150,00 padanya. Air mukanya tidak berubah ketika ia melangkah
ke jalan.

Aku lega. Pikirku, mungkin sekarang dia akan jera datang lagi. Aku pun
bersiap-siap pergi untuk menagih hutang teman yang sudah dijanjikan
akan dibayarnya.

Uang yang tinggal Rp 200,00. Pas untuk mencapai tujuanku dengan naik
bis, disambung naik becak nanti.

Bis sedang melaju di jalan, ketika kulihat Pak Amat berjalan
terseok-seok. Hatiku tersentuh sampai ke relung yang paling dalam.

"Ya Tuhan," pikirku tersengat penyesalan, "Mengapa tidak digunakannya
uang pemberianku tadi untuk naik bis? Haruskah ia berjalan kaki di
tengah hujan ini sampai ke tempat tinggalnya? Begitu berharganya nilai
Rp 150,00 itu? Kalau begitu, wajiblah aku menolong sesamaku yang
keadaannya lebih menderita daripada aku sendiri, sekalipun ia
pembohong atau penipu. Mungkin cuma aku inilah yang masih mau menerima
kedatangannya."

Ya, datanglah Pak Amat, karena demi Yesus, aku takkan menyuruhmu
pulang lagi.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Untaian Mutiara
Penulis: Betsy T.
Penerbit: Gandum Mas, Malang
Halaman: 20 -- 22

Pokok Doa

1. Doakan agar Tuhan memberi kita hikmat untuk menghadapi orang-orang
dengan berbagai karakter, secara khusus orang-orang dengan karakter
yang membuat kita tidak nyaman.

2. Doakan agar Tuhan memberi hati yang penuh kasih sehingga bisa
mengasihani dan mengasihi mereka yang membutuhkan pertolongan kita.

3. Mohon kepada Tuhan agar kita selalu mampu memandang kepada Kristus
dan meneladani-Nya dalam hal berbagi kasih dengan sesama.

"... Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu
telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40)
< http://alkitab.sabda.org/?Matius+25:40 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org