Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/246

KISAH edisi 246 (12-10-2011)

Bunga Cantik Dalam Pot yang Retak

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                    Edisi 246, 12 Oktober 2011

Shalom,

Ada pepatah mengatakan "Jangan menilai buku dari sampulnya". Pepatah
ini menunjukkan relevansinya dalam kehidupan manusia. Terkadang kita
hanya menilai orang dari penampilan fisiknya saja, dan sering kali
penilaian kita salah. Di balik penampilan sederhana dan kekurangan
fisik seseorang, boleh jadi tersimpan hati yang mulia. Kisah kali ini
mengajarkan kepada kita tentang pribadi yang seperti itu. Semoga
melalui kisah ini, kita belajar untuk menerima sesuatu yang
kelihatannya buruk tanpa mengeluh, dan menerima sesuatu yang baik
dengan senantiasa bersyukur. Tuhan memberkati.

Redaksi tamu KISAH,
Mahardhika Dicky Kurniawan
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                   BUNGA CANTIK DALAM POT YANG RETAK

Rumah kami langsung berseberangan dengan pintu masuk RS John Hopkins
di Baltimore. Kami tinggal di lantai dasar dan menyewakan kamar-kamar
lantai atas bagi para pasien yang pergi ke rumah sakit tersebut.

Suatu petang pada musim panas, ketika aku sedang menyiapkan makan
malam, ada orang mengetuk pintu. Saat kubuka, yang kutatap ialah
seorang pria dengan wajah yang buruk sekali rupanya. "Lho, dia ini
juga hampir cuma setinggi anakku yang berusia 8 tahun," pikirku ketika
aku mengamati tubuh yang bungkuk dan sudah serba keriput ini. Tapi
yang mengerikan ialah wajahnya, begitu miring, besar sebelah akibat
bengkak, merah dan seperti daging mentah, hiiiihh...!

Tapi suaranya begitu lembut menyenangkan ketika ia berkata, "Selamat
malam. Saya ini kemari untuk melihat apakah Anda punya kamar hanya
buat semalam saja. Saya datang berobat dan tiba dari pantai Timur, dan
ternyata tidak ada bus lagi sampai esok pagi." Ia bilang sudah mencoba
mencari kamar sejak tadi siang tanpa hasil, tidak ada seorang pun
tampaknya yang punya kamar.

"Aku rasa mungkin karena wajahku ... Saya tahu kelihatannya memang
mengerikan, tapi dokterku bilang dengan beberapa kali pengobatan
lagi...."

Untuk sesaat aku mulai ragu-ragu, tapi kemudian kata-kata selanjutnya
menenteramkan dan meyakinkanku, "Oh, aku bisa kok tidur di kursi
goyang di luar sini, di beranda samping ini. Toh, bisku besok
pagi-pagi juga sudah berangkat." Aku katakan kepadanya bahwa kami
akan mencarikan ranjang buat dia, untuk beristirahat di beranda.

Aku masuk ke dalam menyelesaikan makan malam. Setelah selesai, aku
mengundang pria tua itu, kalau-kalau ia mau ikut makan. "Wah, terima
kasih, tapi saya sudah bawa cukup banyak makanan." Ia menunjukkan
sebuah kantung kertas coklat. Selesai mencuci piring-piring, aku
keluar mengobrol dengannya beberapa menit. Tak butuh waktu lama untuk
melihat bahwa orang tua ini memiliki sebuah hati yang terlampau besar
untuk dijejalkan ke tubuhnya yang kecil ini.

Dia bercerita, ia menangkap ikan untuk menunjang putrinya, kelima
anak-anaknya, dan istrinya, yang tanpa daya telah lumpuh selamanya
akibat luka di tulang punggung. Ia bercerita bukan dengan berkeluh
kesah dan mengadu; malah sesungguhnya, setiap kalimat selalu didahului
dengan ucapan syukur pada Allah untuk suatu berkat! Ia berterima kasih
bahwa tidak ada rasa sakit yang menyertai penyakitnya, yang
rupa-rupanya adalah semacam kanker kulit. Ia bersyukur pada Allah
yang memberinya kekuatan untuk bisa terus maju dan bertahan.

Saat tidur, kami membukakan ranjang lipat kain berkemah untuknya di
kamar anak-anak. Esoknya waktu aku bangun, seprai dan selimut sudah
terlipat rapi dan pria tua itu sudah berada di beranda. Ia menolak
makan pagi, tapi sesaat sebelum ia berangkat naik bus, ia berhenti
sebentar, seakan meminta suatu bantuan besar, ia berkata, "Permisi,
bolehkah aku datang dan tinggal di sini lagi lain kali bila aku harus
kembali berobat? Saya sungguh tidak akan merepotkan Anda sedikit pun.
Saya bisa kok tidur enak di kursi." Ia berhenti sejenak lalu
menambahkan, "Anak-anak Anda membuatku begitu merasa kerasan seperti
di rumah sendiri. Orang dewasa rasanya terganggu oleh rupa buruknya
wajahku, tapi anak-anak tampaknya tidak terganggu."

Aku katakan silakan datang kembali setiap saat. Ketika ia datang lagi
-- ia tiba pagi-pagi, sekitar pukul tujuh lewat sedikit. Sebagai
oleh-oleh, ia bawakan seekor ikan besar dan satu liter kerang oyster
terbesar yang pernah kulihat. Ia bilang, pagi sebelum berangkat
semuanya ia kuliti, supaya tetap bagus dan segar. Aku tahu bisnya
berangkat pukul 04.00 pagi. Entah jam berapa ia harus bangun untuk
mengerjakan semuanya ini bagi kami. Selama bertahun-tahun ia datang
dan tinggal bersama kami, tidak pernah sekalipun ia datang tanpa
membawakan kami ikan atau kerang oyster, atau sayur mayur dari
kebunnya. Beberapa kali kami terima kiriman lewat pos, selalu lewat
kilat khusus, ikan dan oyster terbungkus dalam sebuah kotak penuh daun
bayam atau sejenis kol, setiap helai tercuci bersih. Mengetahui bahwa
ia harus berjalan sekitar 5 kilometer untuk mengirimkan semua itu, dan
sadar betapa sedikit penghasilannya, kiriman-kiriman darinya menjadi
makin bernilai.

Ketika aku menerima kiriman oleh-oleh itu, sering aku teringat kepada
komentar tetangga kami pada hari ia pulang, ketika pertama kali
datang, "Ehhh, kau terima dia bermalam ya, orang yang luar biasa
jelek, menjijikkan mukanya itu? Tadi malam ia kutolak. Waduh, celaka
deh..., kita kan bakal kehilangan langganan kalau menerima orang macam
gitu!" Aku tahu kami sekeluarga bersyukur sempat dan telah
mengenalnya. Dari dia kami belajar apa artinya menerima yang buruk
tanpa mengeluh, dan yang baik dengan bersyukur kepada Allah.

Baru-baru ini aku mengunjungi seorang teman yang punya rumah kaca.
Ketika ia menunjukkan tanaman-tanaman bunganya, kami sampai pada satu
tanaman krisantium yang paling cantik dari semuanya, lebat penuh
tertutup bunga berwarna kuning emas. Tapi aku jadi heran sekali
melihat ia tertanam dalam sebuah ember tua, sudah penyok, berkarat
pula. Dalam hati aku berkata, "Kalau ini tanamanku, pastilah sudah
akan kutanam di dalam bejana terindah yang kumiliki."

Tapi temanku mengubah cara pikirku. "Ahh, aku sedang kekurangan pot
saat itu," ia coba terangkan, "Dan tahu ini bakal cantik sekali, aku
pikir tidak apalah sementara aku pakai ember loak ini. Toh cuma buat
sebentar saja, sampai aku bisa menanamnya di taman."

Ia pastilah terheran-heran sendiri melihat aku tertawa begitu gembira,
tapi aku membayangkan kejadian dan skenario seperti itu di surga.
"Hah, yang ini luar biasa bagusnya," mungkin begitulah kata Allah saat
Ia sampai pada jiwa nelayan tua baik hati itu. "Ia pastilah tidak akan
keberatan memulai dulu di dalam badan kecil ini." Semua ini sudah lama
terjadi, dulu dan kini, di dalam taman Allah, betapa tinggi mestinya
berdirinya jiwa manis baik ini.

Sahabat-sahabat itu istimewa sekali. Mereka membuatmu tersenyum dan
mendorongmu jadi sukses. Mereka meminjamimu sebuah telinga dan berbagi
suatu kata pujian. Tunjukkan pada kawan-kawanmu betapa kau peduli.
Buatlah seseorang tersenyum hari ini.

Diambil dari:
Judul buku: Sebening Hati
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: LPTI Damar Hati
Halaman: 5 -- 12

Pokok Doa

1. Doakan saudara seiman kita yang memiliki kelainan fisik, supaya
mereka tidak memandang kelainan tersebut sebagai kekurangan, melainkan
sebagai anugerah Tuhan.

2. Doakan agar Tuhan memampukan kita untuk melihat segala sesuatu
dengan "kacamata"-Nya, sehingga kita tidak melewatkan satu pun
kesempatan untuk memuliakan nama-Nya lewat berbagi kasih kepada orang
lain.

3. Mengucap syukur atas kondisi fisik dan kesehatan yang Tuhan berikan
dalam kehidupan kita, kiranya setiap pemberian Tuhan boleh kita pakai
untuk melayani-Nya.

"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa
yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1 Samuel 16:7b)
< http://alkitab.sabda.org/?1Samuel+16:7b >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org