Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/251

KISAH edisi 251 (16-11-2011)

Malaria yang Membutakan Mataku

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                    Edisi 251, 16 November 2011

Shalom,

Dalam edisi kali ini, kami menyajikan perjalanan hidup S. Dia terlahir
dengan kondisi tubuh normal, namun tiba-tiba terserang malaria yang
membutakan matanya. Puji Tuhan, penyakit ini tidak sampai membutakan
semangat dan impiannya. Seiring dengan pertumbuhan pengenalannya akan
Kristus, S menjadi inspirasi bagi orang lain berkat kegigihannya
menuntut ilmu. Selamat menyimak dan meneladani kisah hidup tokoh kita
kali ini. Tuhan memberkati.

Redaksi tamu KISAH,
Mahardhika Dicky Kurniawan
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                   MALARIA YANG MEMBUTAKAN MATAKU

Aku (S) dilahirkan di Muntilan, Jawa Tengah, tahun 1943. Diriku tumbuh
secara normal seperti anak-anak lainnya yang hidup di lingkungan
sekitar rumah orang tuaku. Saat itu, ayahku bekerja sebagai seorang
pekerja di bidang kesehatan. Ibu kandungku telah meninggal dunia saat
aku berusia 6 tahun. Beberapa saat setelah ibu meninggal dunia, ayah
dialihtugaskan ke Makasar. Jadi, aku pun ikut pindah juga bersama
ayah. Dalam perjalanan kepindahan dari Muntilan ke Makasar ini, kami
naik kapal barang. Di tengah perjalanan di atas kapal inilah aku jatuh
sakit. Suhu badanku meninggi. Begitu parahnya sakitku, sehingga
makanan dan minuman apa saja yang diberikan kepadaku selalu aku
muntahkan. Sebagai seorang petugas kesehatan, dengan segala daya dan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya, ayah berusaha mengatasi penyakit
yang kuderita ini. Rupa-rupanya segala upaya yang dilakukan ayah
hanyalah menunda malapetaka yang lebih besar yang akan menimpa diriku
di kemudian hari.

Kapal yang kami tumpangi ternyata terlambat tiba di pelabuhan, dan
tidak bisa dengan segera berlabuh ke pantai. Seluruh penumpang harus
menunggu hingga matahari terbit keesokan harinya. Dengan demikian,
pertolongan yang seharusnya segera diberikan kepadaku pun jelas kian
terlambat. Ditambah pula begitu masuk ke rumah sakit di Makasar,
pertolongan yang diberikan pihak rumah sakit hanya berupa suntikan
sebagai penurun panas. Aku harus segera diopname untuk menunggu
kedatangan dokter yang saat itu sedang bertugas keluar, yaitu
melakukan pengobatan keliling daerah yang bisa memakan waktu
berhari-hari. Maklumlah, keadaan saat itu sedang berada dalam masa
peralihan dari zaman pendudukan Jepang -- Belanda dan Sekutu ke zaman
Indonesia yang waktu itu baru saja merdeka dan menjadi negara
Republik. Masa itu dikenal juga dengan zaman koalisi.

Ayahku tentu saja menjadi bingung. Sementara itu, panggilan tugasnya
sebagai pekerja kesehatan menunggunya di Majene, sebuah daerah yang
terletak di luar kota Makasar yang jaraknya cukup lumayan jauhnya dari
Makasar. Maklumlah, pada masa itu yang namanya petugas kesehatan amat
sedikit jumlahnya, terutama yang berada di luar Pulau Jawa. Apa hendak
dikata, walau semuanya dalam kondisi yang serba kritis, ayah pun
dengan sangat terpaksa dan berat hati mesti meninggalkan diriku yang
sedang terbaring diopname di Rumah Sakit Umum Makasar. Memang, ayah
harus dapat mengutamakan kepentingan umum yang menjadi panggilan
tugasnya saat itu, sekalipun harus mengorbankan kepentingan
keluarganya sendiri. Ayah lalu berangkat ke Majene, dengan permintaan
bahwa keadaan diriku akan terus diberitakan kepadanya secara teratur.

Walau dirawat di rumah sakit, kesehatanku tetap kurang begitu
menggembirakan. Suhu badanku tetap tinggi. Dari kedua mataku kini
keluar air, sehingga pandanganku berubah menjadi agak kabur. Akibat
kondisiku yang tak pernah membaik, hati ayah menjadi tak tenteram.
Atas kebijaksanaan atasannya, ayah pun lalu dialihtugaskan ke Rumah
Sakit Umum Makasar, dengan tujuan agar dapat langsung ikut terlibat
mengurus diriku, yang menjadi anak tunggalnya. Dari keterangan yang
berhasil didapatkan, ternyata penyakit malarialah yang menyebabkan
panas tubuhku tak kunjung turun, bahkan cenderung meninggi terus.
Waktu itu memang cukup banyak berjangkit penyakit malaria tropikana.
Pada saat itu penyakit tersebut amat ditakuti semua orang. Penyakit
yang kuderita ini kemudian mulai menyerang saraf, sehingga aku
memerlukan suatu pengobatan serta perawatan yang cukup lama dan
serius.

Dari hasil pemeriksaan, kami mendapat keterangan bahwa saraf mataku
terganggu akibat panas yang tinggi dan sudah cukup lama kuderita
selama ini. Tak ada pilihan lain. Ayah dan aku harus menerima
kenyataan tersebut dengan hati tabah. Beberapa bulan kemudian,
kesehatanku pun membaik. Suhu badanku berangsur-angsur turun sampai ke
keadaan normal. Akhirnya, aku bisa turun dari tempat tidur dan kondisi
tubuhku kembali sehat. Kecuali satu, mataku tetap berair. Hal ini
membuat diriku tak tahan bila terkena sinar terang. Memasuki bulan
keenam di rumah sakit, saat aku hendak membuka jendela kamarku pada
suatu pagi, tiba-tiba saja aku merasa terkejut sekali. Mataku terasa
perih seperti disengat api ketika terkena sinar matahari. Kepalaku
terasa begitu sakit sekali bagai ditusuk dengan ribuan jarum.
Pandangan mataku terasa sangat kabur.

Aku sepertinya berada di dalam lingkungan kabut yang amat tebal
sekali. Aku undur dan duduk di tepi ranjangku, sambil merenungi nasib
dan memikirkan keadaan diriku. Keadaanku yang seperti itu lalu
kuceritakan kepada ayah ketika ia menjengukku pada sore harinya. Dari
hasil pemeriksaan dokter, kami mendapat keterangan bahwa saraf mataku
terganggu akibat penyakit panas yang tinggi dan cukup lama yang
kuderita selama ini. Hal ini mengakibatkan pula terganggunya saraf
pada kornea dan selaput mataku.

Pada waktu itu di kota Makasar belum ada tenaga ahli spesialis mata,
yang ada hanya di Pulau Jawa. Kami pun lalu dianjurkan untuk segera
berobat ke dokter ahli mata yang ada di Pulau Jawa. Namun, karena
keadaan yang kurang memungkinkan, ayah baru bisa membawaku ke Pulau
Jawa pada tahun 1951. Kepergian itupun sehubungan dengan kepindahan
posnya di Bogor. Saat itu kondisiku sudah benar-benar sehat. Hanya
saja aku harus selalu mengenakan kacamata hitam guna menjaga mataku
yang selalu berair dan tak kuat bila terkena sinar terang. Terutama
sekali pada waktu siang hari.

Di Bogor penyakit yang kuderita tidak langsung diobati karena dokter
spesialis mata yang ada kebanyakan sedang melakukan tugas keliling ke
berbagai daerah. Selama menunggu kedatangan dokter ahli mata, aku
menjadi penunggu rumah sambil mengurus ayah yang tetap hidup menduda.
Setelah 5 bulan, barulah dokter ahli mata itu dapat menangani penyakit
yang kuderita. Dari hasil pemeriksaan intensif yang dilakukannya
selama 1 minggu, kami mendapat keterangan bahwa saraf yang
menghubungkan mata dan otakku sedang mengalami proses kerusakan yang
cukup fatal. Keadaan ini terjadi karena penyakit yang kuderita tidak
segera ditangani, dan dibiarkan begitu saja dalam waktu yang terlalu
lama. Akibatnya, kondisi yang telah sangat parah ini sulit sekali
untuk disembuhkan. "Dalam waktu yang tidak lama lagi, anak Anda akan
mengalami kebutaan total!" kata dokter ahli mata itu kepada ayah.

Kebutaan Bukanlah Penghalang untuk Maju

Berita yang didengar dari dokter itu benar-benar memukul hati ayah. Ia
menyesali dirinya karena telah mengajakku pindah ke Makasar.
Seandainya saja ia tak membawaku pindah dan kalaupun aku sakit, toh
masih berada di Pulau Jawa, sehingga tentu keadaanku akan segera bisa
diatasi secepatnya. Ia juga menyesali dirinya yang tak memiliki uang
cukup banyak untuk membawa diriku sesegera mungkin ke Jakarta saat
itu. Sebagai seorang ayah, ia tak bisa memaafkan dirinya atas apa yang
terjadi dengan diriku, anaknya. Apalagi ia merasa sebagai seorang
petugas kesehatan yang cukup dipandang masyarakat dan sebagai tumpuan
harapan kesembuhan atas penyakit yang kuderita.

Sebagai anak kecil yang belum bersekolah, aku menyadari bahwa diriku
tidak mungkin hidup sebagaimana anak-anak lainnya. Tetapi, keinginanku
untuk bersekolah tetap membara. Lalu aku mendesak ayah agar mengirimku
ke sekolah. Ayah menyadari akan kebutuhanku dan dengan segala daya, ia
lalu mencari keterangan tentang sekolah yang kudambakan. Dengan segala
daya ia mencari keterangan ke sana kemari mengenai sekolah yang bisa
menerima diriku dengan kondisi yang kualami. Maka, aku pun kemudian
dikirim ke kota Temanggung di Jawa Tengah untuk bersekolah. Aku
dimasukkan ke sekolah khusus bagi para tunanetra, yaitu di Sekolah
Rakyat Perawatan untuk Anak-Anak Buta.

Di sekolah ini aku dan teman-temanku mendapat pelajaran secara khusus.
Semua murid dilatih untuk menggunakan indera pendengaran secara lebih
tajam dan lebih teliti, di samping melatih ketajaman daya ingatan yang
dimiliki. Semua mata pelajaran yang diberikan tidak jauh berbeda
dengan mata pelajaran yang diberikan di Sekolah Rakyat untuk anak-anak
normal lainnya. Hanya bedanya di sekolah ini kami belajar menulis,
membaca, berhitung dan mendapat bahan bacaan semuanya dengan huruf
braille. Di samping memperoleh bahan mata pelajaran biasa, kami juga
mendapat mata pelajaran berbagai keterampilan khusus, seperti membuat
meja, kursi, bingkai gambar hiasan dinding, menjahit dan menyulam yang
tentunya diberikan khusus bagi anak perempuan. Di sekolah ini aku juga
mendapat pendidikan rohani. Semua murid yang belajar di sekolah ini
tinggal di asrama. Jadi, sebulan sekali ayah menyempatkan diri untuk
menengokku di asrama.

Tidak terasa, 6 tahun pun berlalu sudah. Tingkat pendidikan di sekolah
itu dapat aku lalui dengan baik. Ini berarti aku harus meninggalkan
segala kehangatan yang ada di asrama sekolah itu. Aku kembali
berkumpul dengan ayah, yang saat itu secara kebetulan dipindahkan ke
Magelang. Kembali aku menjadi penunggu rumah, tanpa memiliki kegiatan
yang berarti. Ini membuat sedih hati ayah, karena aku kini kesepian.
Pada suatu kesempatan liburan panjang, aku mengundang keponakanku, M,
untuk menemaniku di Magelang. Selama masa liburan tersebut, kami
banyak melakukan kegiatan bersama -- memasak, berbelanja, membersihkan
rumah, bercocok tanam, atau berdiskusi tentang berbagai pelajaran di
sekolah. Saat liburan sekolah hampir usai, aku mengantar M ke terminal
bis. Dalam perjalanan mengantar itulah, aku mengutarakan keinginanku
untuk dapat melanjutkan sekolah. Aku ingin sekali bisa masuk SGB
(Sekolah Guru Bawah) agar dapat menjadi guru di kelak kemudian hari.

Mendengar keinginanku tersebut dari M, ayah amat terkejut sekali.
Karena dorongan cintanya yang amat besar sekali kepadaku, ayah lalu
berangkat ke Salatiga untuk mencari keterangan. Di SGB Kristen, ayah
menemui kepala sekolah dan membicarakan tentang keinginanku. Kepala
sekolah tersebut setuju menerimaku bersekolah di SGB Kristen
asuhannya, dengan suatu tujuan: diriku akan dijadikan objek penelitian
SGB tersebut dalam rangka pengembangan pendidikan khusus bagi
anak-anak tunanetra. Tahun 1956 aku secara resmi diterima sebagai
murid di SGB Kristen Salatiga.

Lima Talenta

Di SGB Kristen Salatiga ini, selain mendapat pelajaran dalam bidang
dunia pendidikan, aku juga mendapat pelajaran kerohanian. Di sekolah
inilah aku mendengar sebuah khotbah yang amat mengesankan dan menarik
hatiku. Khotbah tersebut lalu menjadi bahan pemikiran dan
perenunganku, yang pada akhirnya juga mengubah jalan hidupku secara
total di kemudian hari. Aku amat terkesan sekali dengan khotbah yang
mengambil perumpamaan tentang talenta dengan 3 orang hamba yang
diambil dari Injil Matius 25:14-30.

Setelah mendengar khotbah tersebut, timbul keyakinan dan iman yang
kuat dalam diriku bahwa setiap orang percaya telah diberi talenta yang
sama oleh Tuhan. Bukankah Tuhan adalah Pencipta yang Maha Adil?
Tinggal masalahnya sekarang, bagaimanakah cara setiap orang percaya
mengembangkan talenta yang sudah diperolehnya. Cara belajarku di SGB
Kristen Salatiga memang tidak sama dengan murid-murid lainnya. Aku
harus sering ditolong, seperti halnya saat membuat catatan di papan
tulis, pada waktu menerangkan mata pelajaran. Buku cetak yang harus
aku baca, semuanya tidak ditulis dalam huruf braille. Jadi,
teman-temanku menolong membacakan buku itu yang kemudian harus aku
salin ke dalam huruf braille. Sesudah itu, aku mesti mengetiknya
kembali dengan rapi.

Saat ulangan di sekolah tiba, aku mengerjakannya secara khusus di
ruang kepala sekolah. Keistimewaan yang kuterima ini dianggap sebagai
hal yang wajar oleh teman-temanku. Di SGB Kristen ini aku pun berhasil
lulus dengan memperoleh prestasi yang sangat gemilang. Sebagai
penghargaan, aku ditawari untuk masuk SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen
Salatiga dengan mendapat beasiswa bantuan dari gereja. Kesempatan itu
tentu saja tak pernah kusia-siakan. Aku berhasil menyelesaikan
pendidikan di SGA tersebut pada tahun 1960.

Setahun kemudian, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) saat
itu, Prof. Dr. O. Notohamijoyo, menawariku untuk kuliah di UKSW dengan
persyaratan bahwa aku harus lulus ujian masuk. Kesempatan itu pun tak
kusia-siakan. Tawaran simpatik tersebut kusambut dengan baik dan penuh
semangat. Keadaan fisikku tak menyebabkan diriku menjadi rendah diri.
Dengan usaha yang keras dan pantang menyerah, setiap malam aku belajar
dengan tekun dan penuh semangat. Hasilnya, aku lulus ujian masuk dan
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pendidikan. Di bangku perguruan
tinggi inipun aku selalu belajar dengan tekun dan penuh semangat.
Kebutaan yang menimpaku bukan merupakan hambatan bagi diriku untuk
terus melangkah maju meraih cita-cita pada setiap kesempatan yang
diberikan kepadaku. Kekurangan atau cacat fisik yang kumiliki ini,
justru menjadi pemacu semangatku untuk belajar secara lebih tekun agar
jangan sampai ketinggalan.

Mengembangkan Talenta

Ada banyak mahasiswa asing yang berkunjung di UKSW Salatiga. Mereka
ada yang datang dari Jepang, Australia, Inggris, dan juga Amerika.
Mereka melihat bagaimana para mahasiswa di UKSW berjuang dengan
uletnya, menyalin catatan kuliah atau membuat rangkuman berbagai
literatur. Pada saat mereka kembali ke negara asal masing-masing,
ternyata nama dan alamatku diberikan ke perpustakaan orang tunanetra.
Mereka juga menceritakan tentang kisah perjalanan hidupku ini.
Kemudian, aku pun mendapat kiriman berbagai literatur dari "Royal
National Institute for the Blind" di London dan dari "Christelijke
Bleiden Bibliotheek" di Belanda.

Aku baru tahu kemudian bahwa semangat belajar yang kumiliki dan gairah
hidupku yang tinggi untuk mengalahkan berbagai hambatan fisikku selama
ini, ternyata membuat para mahasiswa asing itu sangat terkesan. Pada
tahun 1965, aku mendapat undangan dari seorang mahasiswa Jepang, untuk
datang mengunjungi universitas di Tokyo, Osaka, Kobe, dan Kyoto selama
2 bulan.

Tahun 1967, aku lulus dari Fakultas Pendidikan UKSW dengan angka yang
cukup gemilang. Aku lalu ditawari untuk menjadi tenaga pengajar di
kampus almamaterku. Tahun 1969, aku resmi menjadi tenaga pengajar
tetap dalam bidang Sejarah Pendidikan, Filsafat Pendidikan, dan
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Dalam hal membagikan ilmu kepada orang
lain pun, aku ingin bertindak sebagai seorang hamba yang bijaksana,
yaitu hamba yang melipatgandakan talenta pemberian tuannya seperti
yang telah kudengar dalam khotbah yang amat mengesankan hatiku dan
mengubah jalan hidupku. Aku ingin agar orang yang menerima ilmu yang
kuajarkan setiap tahun menjadi berlipat ganda jumlahnya. Aku sangat
ingin mengembangkan talenta yang kuperoleh tersebut dengan
sebaik-baiknya.

Sama seperti manusia normal pada umumnya, aku pun lalu menikah dengan
seorang wanita yang berasal dari kota Magelang. Wanita yang kunikahi
pada tahun 1979 itu bernama S. Ia seorang mahasiswi di UKSW yang
sering kali mengantarkan aku saat pergi ke kantor ataupun ketika
pulang ke rumahku yang terletak di kompleks Kampus UKSW. Cinta di
antara kami berdua bertumbuh karena "witing tresno jalaran saking
kulino" (sebuah pepatah Jawa yang berarti: "Cinta bertumbuh karena
terbiasa saling bertemu", Red.). Dari pernikahan ini, kami dikaruniai
3 orang anak yang sehat jasmani semuanya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Semua Karena Anugerah-Nya
Penulis buku: Adhy Asmara
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 1996
Halaman: 2 -- 14

POKOK DOA

1. Doakan Bapak S beserta keluarga agar dapat terus menjadi berkat
bagi orang lain melalui kisah hidup mereka.

2. Doakan para penderita tunanetra, supaya tidak menyerah dan meratapi
kekurangan mereka, melainkan bangkit untuk mengembangkan dan
mengoptimalkan talenta yang Tuhan berikan bagi mereka.

3. Doakan para tenaga medis, lembaga pendidikan, dan balai pelatihan
yang melayani para tunanetra, agar dapat melakukan pendampingan bagi
mereka secara efektif, supaya mereka bisa hidup secara mandiri dan
bermanfaat bagi sesama.

"Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada
yang tiada berdaya." (Yesaya 40:29)
< http://alkitab.sabda.org/?Yesaya+40:29 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org