Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/269

KISAH edisi 269 (28-3-2012)

Untuk Apa Saya Hidup?

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                       Edisi 269, 28 Maret 2012

Shalom,

Seharusnya setiap manusia memiliki tujuan hidup. Jika tidak memiliki
tujuan hidup, maka manusia akan mengalami kehampaan. Tidak ada
semangat dan warna dalam menjalani hari demi hari. Yang menjadi
pertanyaan, apa tujuan hidup Anda dalam dunia ini? Sudahkah Anda
melakukan sebuah usaha untuk mewujudkan tujuan hidup Anda?

Dalam edisi KISAH 269, kami menyajikan sebuah kesaksian mengenai
seseorang yang menemukan tujuan hidupnya, yaitu untuk melayani Tuhan.
Dia memberikan seluruh hidupnya untuk terjun dalam ladang penginjilan.
Kiranya kesaksian ini dapat menjadi motivasi dan memberkati saudara
semua. Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi KISAH,
Yonathan Sigit
< sigit(at)in-christ.net >
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                         UNTUK APA SAYA HIDUP?

"Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Untuk apa saya hidup?"
Pertanyaan-pertanyaan ini pada suatu hari memenuhi pikiran saya, saat
saya duduk-duduk di dangau [gubuk (rumah kecil) di sawah atau di
ladang, tempat orang berteduh untuk menjaga tanaman, Red] di sawah
nenek.

Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di Pulau Nias,
dan masa liburan sekolah biasanya saya lewatkan dengan menemani nenek
di sawah. Saya sangat menyukai saat-saat duduk sendirian di dangau
yang dikelilingi tanaman padi itu. Jauh di tepi sawah, nampak
pohon-pohon sagu dan kayu-kayu hutan.

Dari dangau saya bebas menikmati arak-arakan awan putih yang muncul di
langit seperti ukiran batu putih cemerlang. Bentuknya berubah-ubah.
Ada kalanya berbentuk manusia, binatang, pohon, sungai atau bentuk
lain, tergantung daya khayal saya menciptakannya. Yang paling sering
saya bayangkan adalah bentuk Tuhan Yesus yang disalib, seperti
diceritakan guru sekolah minggu. Katanya, Tuhan Yesus disalibkan
karena kita, manusia telah berbuat berdosa. Dosa kita akan diampuni
dan kita bisa masuk surga kalau kita memintanya kepada Tuhan Yesus.

Di kala ukiran-ukiran di awan itu hilang disapu gelombang awan
lainnya, perhatian saya beralih kepada nenek dan para pekerja yang
menggarap sawah. Mereka bekerja keras, berlelah-lelah hampir tak
pernah beristirahat. Melihat mereka, timbul pertanyaan dalam benak
saya, "Mengapa mereka harus bekerja keras?"

Jawabannya langsung saya temukan. "Mereka bekerja keras supaya bisa
makan."

"Mengapa manusia harus makan?"

"Supaya bisa hidup."

"Untuk apa manusia hidup?"

Saya merenungkan kehidupan pekerja-pekerja itu. "Bekerja, makan,
hidup. Sesudah itu apa? Makan lagi... bekerja lagi... makan lagi...
Hanya itukah arti hidup ini?"

"Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Untuk apa saya hidup?"
Pertanyaan ini terus saja mengikuti saya betapa pun saya berusaha
melupakannya.

Ayah dan Ibu telah mendidik saya dan keempat saudara laki-laki serta
ketiga saudara perempuan saya menjadi anak-anak bermoral baik. Tahu
bahwa saya tidak senakal anak-anak lainnya, saya yakin saya bisa masuk
surga.

Tapi keyakinan saya itu dihancurkan oleh kebenaran yang sesungguhnya,
sewaktu guru sekolah minggu bercerita tentang orang Farisi dan
pemungut cukai dari Lukas 18:9-14. Keduanya pergi ke rumah ibadah
untuk berdoa. Si orang Farisi berpikir ia tidak membutuhkan
pengampunan Tuhan karena ia bermoral baik, taat berpuasa, dan suka
memberi sedekah. Tapi, si pemungut cukai mengaku bahwa ia orang
berdosa dan memohon ampun kepada Tuhan.

Ternyata doa si pemungut cukailah yang diterima Tuhan. Dosa-dosanya
diampuni! Sebaliknya, si orang Farisi karena tidak mengaku berdosa, ia
tidak mendapat pengampunan Tuhan.

Kisah kedua orang itu menyentak kesadaran saya. Betapa pemahaman saya
selama ini salah. Maka, di sekolah minggu itu, dengan sepenuh hati
saya berdoa seperti si pemungut cukai, "Tuhan Yesus, kasihanilah saya,
ampuni dosa-dosa saya." Sejak saat itu saya merasa pasti bahwa saya
akan masuk surga. Dosa-dosa saya telah diampuni-Nya.

Tapi pertanyaan, "Untuk apa saya hidup?" belum terjawab. Saya sering
resah karena pertanyaan ini. Keresahan saya bertambah ketika beberapa
tahun kemudian saya membaca Amsal 3:9, "Muliakanlah TUHAN dengan
hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu."

Saya harus memuliakan Tuhan dengan harta!

"Saya tidak punya harta apa-apa, Tuhan. Saya tidak punya penghasilan
apa-apa. Saya baru kelas 5 SD!" Seru saya berkali-kali kepada Tuhan.
Ayat itu selalu saja mengganggu dan saya tidak tahu harus berbuat apa.

Suatu hari saya melihat sepucuk surat di rumah kami. Dari luar negeri!
Entah bagaimana surat itu bisa tiba di rumah kami. Di lembarannya
terpampang foto seorang perempuan. Katanya ia seorang utusan Injil,
yang bekerja memberitakan Kabar Baik Yesus. Ia juga bercerita tentang
orang-orang di berbagai tempat yang belum pernah mendengar tentang
Tuhan Yesus. Jumlah mereka banyak sekali.

"Mereka pasti akan masuk neraka!" pikir saya. "Mengapa Tuhan tidak
pergi kepada mereka, supaya mereka juga bisa masuk surga seperti
saya?"

Saya sedih memikirkan orang-orang itu. Di Pulau Nias -- tempat saya
dilahirkan -- hampir semua orang sudah mendengar tentang Tuhan Yesus.
Tapi rupanya di tempat-tempat lain banyak sekali yang belum pernah
mendengar. Sebuah kerinduan tumbuh dalam jiwa saya. "Saya mau pergi
membawa berita keselamatan kepada mereka! Saya mau jadi utusan Injil!"

Saya merasa menjadi utusan Injil adalah tugas saya sebagai orang yang
sudah ditebus Tuhan Yesus. Kebenaran ini saya pahami saat di kelas 2
SMP. Waktu itu, kami sedang merayakan Natal. Pengkhotbah mengatakan
bahwa dunia bergerak maju begitu pesat, semakin canggih. Tapi sangat
menyedihkan bahwa manusia hidup seperti berlomba masuk neraka saja.
Tuhan membutuhkan orang-orang percaya untuk memberitakan kepada mereka
keselamatan di dalam Tuhan Yesus.

Dalam kebaktian Natal itu saya berjanji, "Tuhan, saya bersedia pergi
kepada mereka. Saya akan memegang keputusan ini dan tidak akan
melepaskannya."

Nenek telah meninggal 2 tahun sebelum Natal itu. Sawahnya tidak lagi
digarap. Tapi pertanyaan meresahkan, "Untuk apa saya hidup?" Yang
muncul ketika saya duduk-duduk di dangaunya, telah terjawab.

"Saya hidup untuk menjadi utusan Injil, untuk memuliakan Allah. Hidup
saya adalah harta yang tak dapat saya tukar dengan apa pun. Pergi
bekerja di ladang Tuhan, untuk itulah saya hidup!"

Diambil dari:
Judul buku: Sampah Menjadi Persembahan
Judul artikel: Untuk Apa Saya Hidup
Penulis: Ria Zebua
Penerbit: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta 2002
Halaman: 9 -- 13

POKOK DOA

1. Berdoa untuk setiap orang yang terpanggil menjadi utusan Injil.
Biarlah hati mereka semakin diteguhkan oleh Tuhan untuk membawa banyak
jiwa datang kepada-Nya.

2. Berdoa untuk orang-orang yang terjun dalam pelayanan misi, supaya
Tuhan memberikan kekuatan dan mencukupkan segala kebutuhan, serta
membuka jalan dalam setiap permasalahan dalam hidup dan pelayanan
mereka.

3. Berdoa agar Tuhan memberikan visi kepada lebih banyak orang lagi,
agar mau terlibat dan terjun langsung dalam pelayanan misi.

"Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan
Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di
dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah
mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:20)
< http://alkitab.sabda.org/?Galatia+2:20 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Yonathan Sigit
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org