Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/27

KISAH edisi 27 (9-7-2007)

Penantian Selama Tiga Belas Tahun Terjawab Sudah

______________________________PUBLIKASI_______________________________
                                KISAH
____________________(Kesaksian Cinta Kasih Allah)_____________________
                        Edisi 27, 9 Juli 2007

PENGANTAR

  Menunggu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Pekerjaan ini bukan
  satu dari sekian banyak kegiatan yang ada di dalam catatan kerja
  kita. Bukan juga hal yang ingin kita laporkan di dalam jurnal
  laporan bulanan kita. Meski demikian, ada ungkapan yang mengatakan,
  "Lebih baik menunggu daripada kita mendapatkan sesuatu di saat yang
  kurang tepat."

  Sebagai orang percaya, sering kali kita harus menunggu jawaban dari
  doa yang kita panjatkan kepada-Nya. Melaluinya, kita belajar untuk
  setia menanti. Berikut kesaksian seorang anak Tuhan dalam penantian
  dan kesetiaan kepada-Nya, sampai akhirnya doanya terjawab.

  Pimpinan redaksi KISAH,
  Pipin Kuntami
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

           PENANTIAN SELAMA TIGA BELAS TAHUN TERJAWAB SUDAH
           ================================================

  Perjalanan hidup pasangan suami istri, Pdm. Ungke Godfried Dirk dan
  Ester Widyawati sangat unik. Mereka sama-sama mempunyai masa lalu
  yang kelam. Ester, anak pendeta yang getol belajar bela diri dan
  tari ular. Sementara Ungke, dari kecil sudah belajar karate, judo,
  dan silat di Perguruan Kayutsi, serta mempelajari kekebalan tubuh
  dan doyan berkelahi. Karena kemampuan bela dirinya, Ungke pernah
  menjadi pelatih di lingkungan Akabri dan Polri Yogyakarta. "Meskipun
  kami berdua dari keluarga Kristen, kami sama-sama punya masa lalu
  yang kelam. Namun, Tuhan begitu sabar terhadap kami, Ia terus
  menuntun kami mengenal-Nya," kata Ester yang dulu kerap
  mempertontonkan kebolehannya menari ular di kampus ataupun acara di
  kampung.

  Mereka menikah di GPIB Margamulya, Yogyakarta, 12 Mei 1989. Seminggu
  setelah menikah, Ungke berangkat berlayar. Dia pulang setahun sekali
  untuk menemui Ester yang bekerja di Jakarta. Merasa kurang pas
  berkeluarga "jarak jauh", tahun 1992, Ungke mencari pekerjaan di
  darat agar bisa terus bersama-sama Ester. Singkat cerita, Ungke yang
  lahir 21 September 1961 ini diterima bekerja sebagai sopir di GBI
  Bukit Kalvari yang digembalakan oleh Pdt. Ade Manuhutu, tempat ia
  beribadah. Beberapa tahun kemudian, Ungke melanjutkan kuliah di STII
  Jakarta. Kedua lingkungan baru itu semakin mendekatkan mereka pada
  Tuhan.

  Menanti Buah Hati

  Setelah melewati lima tahun usia pernikahan, Ester yang lahir pada
  27 Oktober 1963 ini belum juga hamil. Seperti pasangan suami istri
  lainnya, mereka mulai gelisah. Berbagai usaha pun dilakukan. Hasil
  pemeriksaan dokter kandungan di YPK Theresia, Menteng Jakarta Pusat
  menunjukkan ada penyumbatan di sisi kanan dan kiri rahim Ester.
  Untuk membukanya, dokter melakukan tindakan "tiup".

  Setelah sekian lama, usaha ini tak berhasil, Ester pun pindah kepada
  dokter di Semarang. Namun karena tak sanggup untuk selalu
  bolak-balik Jakarta-Semarang, pengobatan itu pun dihentikan. Bisa
  dipahami, "bolak-balik" ke dokter bukan hal ringan -- memakan waktu,
  tenaga, pikiran, dan biaya yang tak sedikit. Apa lagi tahun 1998,
  krisis moneter menerpa Indonesia. Ester tidak lagi bekerja.

  Tahun 1999, seorang dokter menganjurkan Ester untuk menjalani sebuah
  operasi dengan perkiraan biaya sebesar Rp 5 juta. Sayangnya,
  anjuran dokter itu tidak dapat mereka penuhi karena alasan biaya.
  "Dari peristiwa ini, saya dan Ungke cuma bisa pasrah dan berserah
  pada Tuhan. Hari-hari selanjutnya, kami berdoa agar semakin mengerti
  kehendak Tuhan dalam pernikahan kami. Ketika saya berhenti bekerja,
  saya mulai sibuk terlibat pelayanan bersama Ungke yang memang
  melayani sepenuh waktu," kenang Ester.

  Berkat di Tengah Badai

  Lambat-laun mereka mulai "lupa" dengan pergumulan mereka. Dokter
  kandungan pun sudah tidak lagi "ditengok". Mereka menyatukan hati
  untuk memiliki pikiran bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus
  tetap bersyukur. Sedikit pun tidak tebersit niat untuk meninggalkan
  Tuhan hanya karena keinginan dan harapan mereka belum terkabul.
  Sebaliknya, mereka semakin giat melakukan pelayanan.

  Tahun 2001, pasangan Ester dan Ungke yang tinggal di daerah
  Jatibening, Bekasi ini merasakan dampak masalah "kertas uang" yang
  menimpa Pdt. Ade Manuhutu. Peristiwa ini memang menjadi pemberitaan
  di media massa Indonesia. Maklum saja, Ade mantan artis kondang dan
  Ungke sering kali mendampingi pendetanya saat berurusan dengan pihak
  berwajib.

  Hampir setiap malam, rumah mereka disatroni pria-pria "tidak jelas"
  yang berbadan tegap dan berambut gondrong. Teror kata-kata kotor dan
  kasar menghujani mereka lewat telepon rumah ataupun "handphone".
  Mesin penjawab telepon mereka pun penuh dengan sumpah serapah.
  "Bahkan banyak kata menghujat nama Yesus," kata Ungke.

  Pernah suatu malam ketika "rombongan pria" itu kembali berkumpul di
  depan rumahnya, Ungke tak tahan dengan ulah mereka. Darahnya
  mendidih dan emosinya terbakar. Keberanian di masa silam kembali
  menghentak, Ungke merasa ditantang. Ester ketakutan. Ia terus
  merintih dalam doa. Ungke tak sabar, ia meraih pisau dan
  bersiap-siap menghunjamkannya bila ada yang berani masuk. Laki-laki
  asal Sangir Talaud itu pun meradang di pojok kamar mandi,
  bersiap-siap menorehkan darah lewat tikaman pisau yang digenggamnya
  dengan gemetar. Tiba-tiba ia mendengar suara lembut penuh cinta yang
  ia yakini itu suara Tuhan, "Akulah Allah pembelamu." Ungke menangis,
  mohon ampun atas cara yang hendak ia gunakan. "Kalau saja waktu itu
  saya sampai melakukan kekerasan, saya ... kalah! Masak pendeta
  hantam orang! Saya mungkin sudah tinggalkan pelayanan," ujar Ungke
  dengan suara terbata-bata menahan tangis. Syukur pula seluruh
  tetangga mengerti benar apa yang sedang dialami Ester dan Ungke.
  Tidak ada yang terpancing untuk menanggapi kelompok orang yang telah
  mengganggu kenyamanan di lingkungan itu.

  Merasa tak nyaman karena bahaya mengancam, Ester dan Ungke
  meninggalkan rumah dan "berkelana". Selain pergi ke rumah orang tua
  Ester di Purwodadi, mereka mengambil waktu khusus untuk berdoa di
  Bukit Doa Getsemani, Ungaran, Semarang. Mereka menemukan tempat
  pelarian yang tepat. "Kami terus belajar mengerti maksud Tuhan lewat
  peristiwa ini. Sempat terpikir dalam hati kami untuk meninggalkan
  Jakarta dan memulai pelayanan baru di kota lain, Yogyakarta
  misalnya. Ini kami sampaikan kepada Tuhan. Di bukit doa, kami banyak
  merenungkan firman Tuhan yang menguatkan kami. Ada jaminan
  pertolongan bagi yang berseru dan berharap kepada Tuhan," kisah
  Ungke yang bersama Ester kerap doa-puasa di bukit doa itu.

  Tantangan itu harus dihadapi bukan dihindari, kata Ade Manuhutu saat
  bertemu mereka di Magelang. Pertemuan itu menguatkan mereka untuk
  menghadapi masalah yang terjadi. Ester dan Ungke pun mengambil
  keputusan: pulang ke Jakarta. Mereka kembali pada pelayanan yang
  telah Tuhan percayakan. Lambat-laun, masalah menakutkan itu pun
  selesai karena karya Tuhan.

  Satu bulan setelah kembali ke Jakarta, Ester terkena demam hingga
  badannya lemas tidak berdaya. Namun karena situasi belum juga baik,
  mereka menginap di rumah saudara. "Tiba-tiba saya ingat, kok
  pembalut saya utuh? Saya telat menstruasi. Lalu saya minta Ungke
  beli alat tes kehamilan. Hasilnya, positif!"

  Penantian Tiga Belas Tahun itu Akhirnya Terjawab

  Tidak hanya pasangan Ester dan Ungke yang dengan penuh sukacita
  menanti kelahiran anak mereka. Saudara, kerabat, dan tetangga mereka
  ikut bahagia. Akhirnya, setelah tiga belas tahun menunggu, tanggal 7
  November 2002, lewat operasi caesar, Ester di usia 39 tahun
  melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Jevon Albert Dirk di RS
  Mitra, Bekasi. "Uang yang kami siapkan tidak cukup untuk membayar
  biaya rumah sakit. Namun, ternyata Tuhan sedang menunjukkan sesuatu:
  bahwa pengharapan pada Tuhan tidak akan pernah sia-sia. Begitu
  banyak orang yang digerakkan Tuhan untuk menolong kami. Dr. Ester
  Situmeang yang menangani kelahiran Jevon membebaskan biaya jasa
  dokter. Teman gereja, bahkan seseorang yang tidak seiman membantu
  kami," kata Ungke. "Jevon, tambah Ester, "dalam bahasa Ibrani
  berarti anugerah Allah yang paling indah."

  Selagi usia Jevon belum genap setahun, Tuhan menambahkan kebahagiaan
  mereka. Ester hamil lagi dan pada 25 Maret 2004, dia melahirkan bayi
  perempuan, yang mereka beri nama Janet Abigail Dirk. Hampir sama
  dengan Jevon, dalam bahasa Ibrani, Janet artinya pemberian Allah
  yang paling indah. "Dulu kami berdoa, Tuhan beri kami satu anak saja
  sudah cukup membuat kami bahagia, malah Tuhan beri lebih dari
  permohonan kami. Berkat sepasang anak, lengkap sudah," kisah Ester.

  Rumah itu kini tak lagi sepi. Gelak tawa Jevon dan tangis Janet
  kadang terdengar bersama-sama memecah keheningan pagi, bahkan saat
  malam telah larut. Boneka, bola, dan segudang mainan menghiasi
  sudut-sudut ruangan. Nyanyian anak-anak dari mulut Ester dan Ungke
  yang ditirukan Jevon terdengar menyentuh .... Betapa bahagia mereka
  ketika Jevon yang saat ini sedang belajar bicara bisa memanggil
  mereka, "Mama dan Papa."

  Ya, percayalah mukjizat Allah masih berlangsung!

  Diambil dan diedit seperlunya dari:
  Judul buku   : Karena Dia
  Judul artikel: Penantian Selama 13 Tahun Terjawab Sudah
  Penulis      : Niken Maria Simarmata
  Penerbit     : ANDI
  Halaman      : 1 -- 9
______________________________________________________________________

   "Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu
            yang mengerjakan semuanya dalam semua orang."
                            (1Korintus 12:6)
            < http://sabdaweb.sabda.org/?p=1Korintus+12:6 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Saat ini ada banyak anak Tuhan yang bergumul dalam banyak hal --
     salah satunya pasutri yang merindukan kelahiran anak dalam
     keluarga yang mereka bentuk. Berdoalah bagi masing-masing mereka
     agar mensyukuri setiap jawaban Tuhan atas doa-doa yang dinaikkan,
     dengan demikian mereka meninggikan Allah dan kehendak-Nya.

  2. Mohonkanlah kesabaran dari-Nya dalam menantikan jawaban Tuhan,
     terutama ketika Allah berkehendak untuk menjawab pergumulan kita
     dalam kurun waktu yang cukup lama. Dan mintalah kepada-Nya agar
     kita peka untuk setiap jawaban yang telah diberikan Tuhan, baik
     itu jawabannya ya, tunggu, atau tidak.

  3. Jika akhirnya pergumulan kita dijawab sesuai dengan apa yang kita
     doakan, naikkanlah syukur dan bersaksilah karena melaluinya kita
     dapat menguatkan anak-anak Tuhan lainnya yang saat ini sedang
     dalam pergumulan. Sebaliknya, jika tidak terjawab sesuai
     keinginan kita, tetaplah bersyukur karena Tuhan mengetahui yang
     terbaik bagi hidup kita.
______________________________________________________________________

       Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
                       Copyright(c) 2007 YLSA
                YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
                      http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

Pimpinan redaksi: Pipin Kuntami
Staf redaksi    : Puji, Raka, Yulia
Kontak          : < staf-kisah(at)sabda.org >
Berlangganan    : < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti        : < unsubcribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH     : http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL     : http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org