Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/271

KISAH edisi 271 (11-4-2012)

Survei Ke Tiongkok

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                       Edisi 271, 11 April 2012

Shalom,

Ketika kita merasa lelah dan putus asa pada waktu mengalami tekanan
hidup, serahkan segala pergumulan dan kekhawatiran kepada Tuhan,
karena di balik semua yang terjadi, Ia memiliki rencana yang indah
bagi anak-anak-Nya. Pengalaman seperti ini pernah dialami oleh salah
satu anak-Nya -- seseorang yang rindu melayani ke Tiongkok. Akan
tetapi, di balik pergumulan yang ia dihadapi, Tuhan justru bekerja dan
menyatakan mukjizat-Nya. Untuk mengetahui kisah selengkapnya, kami
mengajak Anda membaca kesaksian yang telah kami persiapkan. Tuhan
memberkati.

Pemimpin Redaksi KISAH,
Yonathan Sigit
< sigit(at)in-christ.net >
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                          SURVEI KE TIONGKOK

Dalam pikiran kami, sebelum pergi menjadi utusan Injil sebaiknya
melakukan survei paling tidak satu kali. Tujuannya adalah untuk
memahami apa yang ada di sana dan apa yang akan kami lakukan. Dengan
melihat kondisi dan situasi di daerah yang didoakan, kami akan
memastikan apakah kami harus pergi atau tidak. Kami telah berdoa
kurang lebih setahun, agar Tuhan mengizinkan kami survei ke Tiongkok.

Januari 2002, tim memutuskan agar saya survei ke Tiongkok pada bulan
April 2002. Kami mempersiapkan diri untuk itu. Kami membatalkan
sebagian pelayanan, juga menunda jadwal pelayanan yang sudah
disepakati dengan beberapa gereja. Namun ketika mendekati waktunya,
kami batal berangkat. Tidak ada uang untuk melakukan survei. Perasaan
malu menekan kami -- terhadap gereja-gereja dan pihak-pihak yang
selama ini mendoakan kami, karena kami telah menunda, bahkan
membatalkan pelayanan kami di beberapa gereja, terutama pelayanan yang
waktunya bersamaan dengan jadwal keberangkatan kami. Kami merasa
bersalah dan disudutkan, serta dipermalukan dalam peristiwa ini. Kami
tidak ingin menyalahkan siapa-siapa kecuali berkata di dalam diri:
"Seandainya kami punya banyak uang, tentunya kami tidak akan mengalami
peristiwa memalukan ini." Tidak jadi berangkat survei karena tidak ada
dana.

Rencana semula untuk bisa berangkat survei adalah dengan cara mencari
15 orang yang mau mengikuti tur misi ke Tiongkok. Jika ada 15 orang,
ada bonus 1 orang. Itulah bagian saya. Namun karena keterbatasan waktu
untuk mencari peserta dan keterbatasan diri saya yang belum pernah
ikut tur misi, hanya 2 orang yang saya dapatkan. Karena jumlah peserta
tidak memenuhi target, saya tidak bisa berangkat survei. Kami kembali
"terjebak" dengan pikiran dan usaha kami sendiri. Kami lupa bahwa
Allah mengizinkan segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan
bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Roma 8:28). Hati ini
berontak, namun kami sadar bahwa kalau Tuhan yang membuka jalan, tidak
ada satu kekuatan pun yang mampu menutupnya. Sebaliknya, kalau Tuhan
menutup jalan, tidak ada yang bisa membukanya. Kami mengerti hal ini,
namun untuk menerima kenyataan pahit bukanlah perkara yang mudah.

Setelah beberapa bulan, tepatnya Agustus 2002, tim kembali memutuskan
agar saya berangkat survei pada bulan September 2002. Berita ini tidak
lagi kami sambut dengan gembira. Kami juga tidak memberi tahu orang
lain karena bisa saja tidak jadi berangkat. Kami sungguh pesimis,
namun kami tetap belajar berserah kepada Tuhan. Ternyata, peristiwa
pertama nyaris terulang. Keberangkatan saya untuk survei dinyatakan
ditunda sampai November 2002 karena alasan teknis. Tuhan sungguh baik,
dalam kitab Mazmur dituliskan: "Dari balik bukit batu diberikan air
madu yang manis." (Mazmur 81:17) Arti sederhananya, dari peristiwa dan
kesulitan yang berat, Allah akan memberikan penghiburan yang manis.

Berita tentang pembatalan keberangkatan saya untuk survei pada bulan
April 2002 diketahui oleh beberapa gereja dan saudara-saudara seiman
kami. Beberapa relasi menanyakan mengapa saya tidak jadi berangkat.
Ada yang menanyakan apakah karena dananya tidak cukup. Kami hanya diam
dan menjawab semua pertanyaan itu dengan senyuman. Mendengar
pertanyaan tersebut hati kami pedih dan malu. Hati kami terus berseru
kepada Tuhan. Kami menjerit dalam hati agar Tuhan menyatakan
kehendak-Nya. Apakah benar Ia memilih kami untuk pergi ke sana
ataukah kerinduan ini hanya sekadar kerinduan manusiawi kami? Jika
saya jadi berangkat survei, saya menganggap itu adalah konfirmasi dari
Tuhan bahwa kami memang dipanggil oleh-Nya untuk pergi ke Tiongkok.
Tuhan mengerti bahwa kami telah lelah dan nyaris putus asa. Kami
mengalami tekanan mental karena "batalnya" saya berangkat survei ke
Tiongkok, sementara berita itu sudah diketahui oleh lingkungan gereja
dan relasi kami. Dengan cara yang ajaib Tuhan membalut dan memulihkan
jiwa kami. Tiba-tiba ada seorang ibu yang memberi kami uang Rp.
10.000.000. Ibu itu berkata: "Ini uang untuk Bapak berangkat
melihat-lihat Tiongkok." Hati kami begitu terharu dan bersyukur
karena Allah sungguh luar biasa, karena uang 10 juta itu adalah jumlah
yang besar sekali bagi kami. Kasih Tuhan tidak hanya berhenti sampai
di situ. Setelah itu, Tuhan menggerakkan seorang bapak untuk
membelikan tiket pesawat ke Tiongkok untuk saya.

Tuhan mengetahui dari kekekalan, jika saya batal lagi berangkat
survei, mungkin sekali kami akan mengalami tekanan jiwa yang berat.
Perjalanan survei hanya sebentar, namun tiap hari saya berdoa untuk
mengetahui apa yang Tuhan kehendaki di negeri yang bahasanya pun tidak
kami kenal, belum lagi budayanya sangat berbeda. Di sana saya
dikuatkan oleh kesaksian seorang penginjil lokal yang tidak memunyai
latar belakang pendidikan teologi. Namun dengan semangat yang besar,
ia melayani Tuhan dan tetap setia, meskipun tunjangan hidup yang ia
terima sangat minim. Tiap hari ia berkeliling agar ada jiwa-jiwa yang
mau datang kepada Tuhan. Ia mendampingi saya sewaktu survei dalam
kesederhanaan dan semangat melayani. Yang menjadi berkat rohani bagi
saya adalah ketika saya hendak berpisah dengannya dan kembali ke
Indonesia. Penginjil muda itu, dengan uangnya yang sedikit, membelikan
oleh-oleh. Ia berkata: "Saya rindu membelikan sedikit oleh-oleh." Ia
membelikan sebuah kenang-kenangan berupa dua boneka kecil dengan
pakaian khas Tiongkok. Oleh-oleh itu kini terpajang di ruang tamu
kami. Setiap tamu yang berkunjung pasti akan melihatnya karena kami
memang sengaja menaruhnya di tempat yang akan selalu terlihat. Ini
kami lakukan untuk terus mengingatkan kami akan kasih penginjil muda
itu. Betapa hidupnya adalah untuk memberi, baik untuk Tuhan maupun
sesama. Ia tidak menuntut orang lain mengerti keadaannya dan
selanjutnya berbelas kasihan terhadapnya. Justru ia senang
memerhatikan sesamanya. Hidup seperti ini sulit! Bahkan bagi seorang
hamba Tuhan sekalipun. Hal ini sulit jika seseorang tidak memiliki
integritas dan kemurnian hati dalam melayani Tuhan. Penginjil muda ini
memunyai teman-teman dengan semangat yang sama. Mereka sering
bersekutu bersama. Itulah sumber kekuatan mereka, persekutuan dengan
saudara seiman. Mereka juga memunyai beban yang besar untuk melayani.
Namun, keterbatasan mereka tidak sedikit sehingga sulit untuk belajar
teologi di sekolah Alkitab. Melihat hal ini, kami semakin yakin bahwa
Tuhan memanggil kami ke sana untuk memperlengkapi pelayan Tuhan di
sana.

31 September 2002 saya tiba di Indonesia. Oleh-oleh berupa kesaksian
nyata yang saya dapatkan dari Tiongkok itu saya bagikan kepada istri
saya. Malam itu kami berdoa dan menangis. Pergumulan kami dalam
menaati panggilan misi ke Tiongkok ini memang berat, namun jika
dibandingkan dengan para penginjil muda dan kerinduan jiwa-jiwa di
sana, pergumulan kami ini tidak ada apa-apanya. Sekian lama mereka
berdoa dan merindukan, agar ada orang-orang yang mau datang untuk
membawakan kabar keselamatan itu kepada mereka, dan mengajarkan mereka
jalan yang benar itu. Jika orang Kristen di Indonesia bernyanyi,
"Bagaimana tidak Tuhan kan sayang pada Indonesia, bangsa yang besar,
jutaan jiwa-jiwa di negeri ini..." Apalagi rakyat negeri Tiongkok yang
jauh lebih besar dari Indonesia. Tuhan pun sayang pada mereka. Kalau
mereka mengungkapkan kebutuhannya: Siapakah yang mau datang kepada
kami? Tuhan meneguhkan panggilan-Nya. Seperti halnya nabi Yesaya, kami
hanya bisa berkata, "Ini kami Tuhan, utuslah kami!"

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Permata di Balik Air Mata
Penulis: Hendra dan Ester
Penerbit: Mitra Pustaka, Bandung 2004
Halaman: 45 -- 49

POKOK DOA

1. Mengucap syukur untuk kesempatan yang Tuhan berikan kepada salah
satu anak-Nya untuk melakukan survei ke Tiongkok. Melalui survei ini,
ia semakin diteguhkan akan panggilan Tuhan dalam hidupnya.

2. Berdoa untuk misi penginjilan yang ada di Tiongkok, agar Tuhan
senantiasa campur tangan dalam setiap pelayanan yang dikerjakan oleh
anak-anak-Nya di sana.

3. Berdoa agar lebih banyak lagi orang-orang yang terbeban untuk ikut
ambil bagian dalam pelayanan misi, sehingga nama Tuhan dapat
diberitakan kepada lebih banyak orang.

"Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa."
(Markus 13:10) < http://alkitab.sabda.org/?mrk+13:10 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Yonathan Sigit
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org